Impian, cita –
cita, harapan. Setiap orang pasti memilikinya. Bahkan, ketika seorang anak baru
tiba di dunia, orang tua mereka langsung memberikan nama – nama dengan arti
indah di baliknya, berharap anak mereka dapat bertumbuh dengan baik dan seindah
arti namanya.
Begitu pun
dengan saya. Sabrina Carrisimma Minerva. Sebuah nama dengan arti yang sangat
indah dan doa baik yang terselip. Nama itu diberikan oleh orang – orang yang
telah banyak berjasa dalam kehidupan orang tua saya. Sabrina berarti putri atau
tuan putri, Carrisimma yang berarti yang tersayang, dan Minerva yang berarti
bijaksana. Dengan begitu, mereka berharap kelak saya akan dapat menjadi sosok
putri atau anak yang dapat menjadi panutan, disayang semua orang, dan bijaksana
dalam bertindak. Sebuah doa indah yang disematkan ketika saya bahkan belum bisa
bicara.
Memasuki usia
prasekolah, orang tua saya mulai menuntun saya. Mencari – cari harta berharga
yang akan menentukan kemana arah hidup saya dewasa nanti, yaitu minat dan
bakat. Oleh karena itu, mereka memfasilitasi saya banyak hal. Dari kecil, saya
ini suka berkhayal. Maka, orang tua saya membelikan saya berbotol – botol cat
air dan krayon serta bertumpuk kertas gambar dan kanvas untuk saya warnai
dengan imajinasi. Dan cara itu bisa dikatakan efektif, berlembar – lembar
kertas dan kanvas ukuran kecil habis saya gambari. Masih tidak puas dengan
kertas dan kanvas, saya pindah ke media yang lebih besar. Hasilnya, tembok putih
rumah saya penuh dengan warna - warni krayon. Saat itu, saya belum mengenal
istilah impian, yang saya tahu hanya menggambar itu menyenangkan.
Masuk ke sekolah dasar, saya bertemu dengan istilah cita – cita. Saya dan teman – teman saya diperkenalkan dengan macam – macam profesi. Dokter, guru, polisi. Saya ingat, tiga profesi itu yang paling digandrungi oleh teman – teman saya saat itu. Tapi saya tidak. Lahir di lingkungan guru dan juga seniman, saya jadi tahu persis apa yang dikerjakan oleh guru. Dan menurut saya saat itu, itu adalah pekerjaan yang membosankan. Kemudian, saya teringat sebuah serial kartun yang sering menemani sarapan saya sebelum sekolah. Sebuah adegan di mana tokoh utamanya pergi ke bulan dengan roket, menggelitik rasa ingin tahu saya. ‘memangnya di bulan ada alien?‘ lalu, ‘kenapa UFO itu berbentuk piring? Kenapa tidak mangkuk?’. Dua pertanyaan utama itu menjadi fokus utama dari pertanyaan – pertanyaan lainnya yang mulai tumbuh bak jamur di kepala saya. Dan akhirnya, ketika tiba waktunya untuk saya memberitahukan cita – cita saya, dengan lantang saya meneriakkan kata astronaut. Saya sangat bangga saat itu, karena hanya saya yang memilih astronaut sebagai cita – cita di antara teman – teman sekelas saya.
Namun, cita –
cita astronaut ini rupanya tidak berlangsung lama, karena selayaknya seorang
anak kecil yang gampang tertarik akan satu hal, saya terus berganti cita – cita
seiring dengan banyaknya hal – hal baru yang saya temukan. Pernah satu kali,
saya melihat pemain biola mengamen di lampu merah, dan suara biolanya berhasil
membangkitan ketertarikan saya. Namun, saat itu saya belum terlalu tertarik.
Hingga seorang teman ayah saya datang berkunjung ke rumah. Ia seorang pemain
biola orkestra. Ia menunjukan biolanya dan beberapa videonya bersama grup
orkestranya di sebuah ruang pertunjukan megah. Saya mulai melupakan menjadi
astronaut dan beralih pada biola.
Namun, lagi –
lagi sepertinya musik bukanlah passion saya. Saya dengan cepat kehilangan rasa
antusias dan mulai bosan. Hingga di penghujung masa sekolah dasar saya, sekolah
mengadakan bazar buku murah. Saat itu bertepatan dengan pembagian rapor
semester. Ayah sayalah yang datang bersama saya untuk mengambil rapor. Pulang
mengambil rapor, kami menyempatkan mengunjungi bazar buku itu, dan ayah saya
membelikan sebuah buku yang lumayan tebal berisi cerpen – cerpen dari banyak
penulis cilik. ‘Hadiah karena sudah dapat peringkat bagus’ katanya. Saya hanya
menerimanya karena cover buku itu yang terlihat sangat menarik.
Sampai suatu
hari seorang guru saya mengabarkan akan ada seorang penulis yang datang ke
sekolah saya. Dia adalah salah satu penulis cerpen di buku yang ayah belikan.
Saat itu, buku yang dibelikan ayah masih sangat rapi. Bahkan, plastik yang
menutupinya masih sangat bagus. Saya sama sekali belum membacanya, karena saya
lebih suka bermain dan menggambar daripada duduk diam sambil membaca. Namun,
ketika guru saya mengabarkan hal itu, teman – teman saya riuh membicarakannya.
Mereka bahkan terlihat sangat senang akan kedatangan si penulis cilik itu.
Saya akhirnya
penasaran. Pulang sekolah, buku yang dibelikan ayah, saya buka dan saya baca
hingga selesai. Awalnya, saya hanya membaca tulisan dari si penulis yang akan
datang itu, namun, nampaknya saya ketagihan. Sampai tiba – tiba ternyata buku
itu telah habis saya baca hanya dalam sehari. Setelah membaca buku itu, dunia
khayalan saya jadi terbuka lebih lebar dan bahkan jadi lebih liar. Akhirnya
saya menemukan cara baru lain yang menyenangkan untuk menuangkan imajinasi
selain dengan menggambar. Setelah itu, esoknya saya merengek pada ayah meminta
untuk dibelikan buku diary, saya memintanya bahkan dengan menangis. Ayah saya
luluh dan malam itu diam – diam ia membelikan saya sebuah buku diary
kecil berwarna pink. Saat itu Sabrina kecil senang sekali. Saya rasa hal ini
menjadi awal bagi mimpi saya.
Pencarian cita
– cita ini masih berlanjut. Masuk ke jenjang SMP, orang tua saya memutuskan
untuk menyekolahkan saya di sebuah pesantren. Agar saya mendapat pelajaran
agama lebih baik dan tidak melulu bergantung pada orang tua, alasannya. Saya
setuju – setuju saja, karena bagi saya ini sebuah tantangan baru. Perjalanan
masa SMP saya benar – benar terasa seperti rollercoaster. Banyak suka
dan duka yang saya lalui di masa itu, bahkan saya pernah merasakan berada dalam
titik paling memalukan sepanjang 19 tahun hidup saya. Sampai akhirnya, saya
mulai menyadari hidup terpisah dari orang tua rupanya mulai merubah pola
berpikir saya. Dan tentu, pandangan saya terhadap mimpi juga mulai berubah.
Saya mulai lebih realistis dengan melihat kapabilitas saya, bukan hanya karena
saya menganggap itu keren atau semacamnya. Dan karena itu, satu – persatu mimpi
yang tanpa dasar saya hilangkan. Namun, dengan begitu saya jadi bingung, karena
sepertinya saya tidak punya kemampuan apa – apa. Pada masa SMP ini, hari – hari
saya, saya habiskan dengan menulis dan mendesain buku diary. Berbuku –
buku diary sudah saya habiskan untuk menulis semua kegiatan saya selama
tiga tahun masa SMP saya, semuanya saya curahkan di sana.
Beranjak dari
lika – liku masa SMP, saya menginjak masa SMA. Orang tua saya memutuskan untuk
menyekolahkan saya di sebuah sekolah negeri, dikarenakan satu dan lain hal. Berbekal
basic bahasa dari pesantren, akhirnya saya mengikuti ujian masuk untuk
jurusan bahasa. Di masa ini, saya bertemu dengan pelajaran sastra Indonesia,
ilmu yang masih terasa asing bagi saya meskipun orang – orang selalu berkata ‘sastra
itu sama saja dengan bahasa Indonesia’, tapi bagi saya itu berbeda. Saya mulai
mempelajari tentang puisi dengan rimanya, sajak dengan permainan diksinya, karya
– karya usang dengan ejaan lama, atau juga cerita – cerita kaya diksi. Saya akhirnya
mulai menyadari sesuatu, menulis sama dengan menggambar, dia tidak berbatas,
bebas, dan juga kaya. Sebuah tulisan juga mampu menyedot pembaca memasuki dunia
buatan si penulis. Suatu media yang bagus untuk menuangkan imajinasi secara
detail.
Mulai saat itu,
saya sudah memutuskan untuk menjadi penulis. Terserah, entah itu sebagai
pekerjaan utama atau hanya sampingan, saya ingin berkarya lewat tulisan. Saya ingin
menjadi tuhan bagi tokoh – tokoh khayalan ciptaan saya. Dan sampai akhirnya
saya sampai di sini. Berdiri sebagai salah satu mahasiswi penerbitan, sebagai
bekal menjejaki dunia tulis – menulis nantinya.