Rabu, 27 November 2019

Alih Wahana



FORGOTTEN


“Kau tidak ingat?”

“Aku tidak ingat” rintih sebuah suara seraya menangis.

“Tidak ingat?”

Hanya suara senggukan tangis dan tarikan napas berat yang membalas pertanyaan itu.

“Bunuh dia!”. Dan semuanya hitam.
***
Pemandangan hijau dan jalanan langsung menyerobok masuk ketika aku membuka mata. Suara derung mesin mobil menguasai pendengaranku. Aku tersadar, aku sedang dalam perjalanan yang entah kemana tujuannya. Aku terbangun dengan peluh yang telah membanjiri wajah dan kudapati tubuhku bergetar serta napasku tersengal sengal. Aku sadar kemudian, aku ketakutan. (1)

Omo! coba lihat keringatmu ini” seorang perempuan yang ku sadari adalah ibu, menolehkan kepalaku yang bersandar pada pintu mobil.

“Jin Seok kau tidak apa – apa?” tanyanya lembut.

Aku hanya menatapnya dengan pandangan takut yang tak bisa kusembunyikan. Kemudian melirih,

Eomma...

“Iya Jin Seok...” balas Ibu lembut sambil menatapku teduh.

“Sepertinya Jin Seok habis bermimpi buruk” saut sebuah suara dari kursi pengemudi seraya terkekeh, itu ayah.  

Abeoji...

“Kan kemarin sudah Hyung suruh jangan tidur terlalu malam. Kalau mau pindahan besok paginya, malamnya harus tidur yang cukup” itu Hyung yang ikut menyaut di kursi sebelah Ayah yang menyetir.

Aku hanya dapat menatapnya. Ada perasaan aneh yang menelisik, ini seperti Deja Vu. Terlalu aneh, dan terlalu nyata. Entah dimana dan kapan, aku merasa pernah mengalaminya. Aku bahkan dapat merasakan rasa ketakutan dan gelisah membuncah dalam dadaku, yang entah karena apa alasannya. (2)

Hyung...

Di sampingku, Eomma mengelus lenganku lembut berusaha menenangkan.

“Kemarin Jin Seok bilang padaku, saking semangatnya mau pindah rumah, dia jadi tidak bisa tidur” cerita Hyung pada Ayah.

Ayah terkekeh mendengar perkataan Hyung.

“Tenang, kita sudah hampir sampai”

Abeoji! siang ini enaknya makan apa ya?” tanya Hyung.

“Hari pindahan tentu saja harus makan jajangmyeon

Aku hanya terdiam, tak berniat bergabung dalam pembicaraan. Aku memalingkan wajahku pada jendela mobil yang menyuguhkan pemandangan hijau di luar. Sedangkan Hyung menanggapi dengan tertawa. (3)

Abeoji benar! Kita harus makan jajangmyeon

Dan dengan begitu mobil yang membawa kami berempat melintasi jalanan asri dengan pohon-pohon rindang, dan mulai memasuki  daerah pemukiman. Hingga akhirnya, kami sampai di depan sebuah rumah dengan dua mobil truk berisi perabotan terparkir di depan gerbangnya. Itu rumah baru kami. (4)

Kami berempat turun dari mobil. Seketika aku dibuat terdiam menatap rumah itu. Ini jelas-jelas pertama kalinya aku melihat rumah baru kami. Namun, entah kenapa aku merasa sama sekali tidak asing dengan rumah itu. Seperti beberapa waktu lalu aku pernah bediri di sani dan menatap rumah itu seperti yang sedang aku lakukan sekarang, seperti itulah perasaanku. (5)

“Bagaimana? Suka?”

Aku menoleh. Hyung sudah berdiri tepat di sampingku. Ikut memandang rumah itu sambil tersenyum. Aku hanya diam. Hyung menatapku sambil terkekeh pelan, lalu merangkulku. (6)

“Aku tanya bagaimana? Apakah mirip dengan rumah yang ada dalam impianmu?”

Aku akhirnya ikut terkekeh pelan lalu mengangguk puas berharap Hyung senang dengan jawaban yang ku berikan. Aku menatap Hyung sambil tersenyum. Hyung ini, sejak SD selalu mempertahankan rankingnya pada tempat pertama. Dia juga lulusan Universitas terkemuka yang membuat orang–orang merasa iri hati. Satu kata. Jenius. (7)

Bahkan saat remaja, Hyung telah menunjukan talenta luar biasa dalam semua aspek. Dia sangat kompetitif. Memiliki bakat alam dalam bidang olah raga sehingga dijuluki atlet serba bisa. Dan dia dapat dibilang cukup terampil, semua masalah di rumah tidak perlu memanggil ahlinya. Hanya Hyung seorang saja sudah bisa memperbaikinya. (8)

Hyung tidak cuma tidak merokok dan minum-minum, dia juga seorang pria sejati yang tidak pernah bertutur kata secara kasar. Memiliki logika yang tinggi. Pintar dalam artikulasi dan memiliki selera humor yang tinggi. Hyung membuat orang iri dan suka bercampur aduk menjadi satu. Dan tentu saja aku juga memuja Hyung yang seperti ini. Tidak, aku sangat menaruh respect padanya. Bagi orang yang harus mengulang pendidikan dua kali dan juga penderita neurasthenia kronis sepertiku, Hyung adalah kebanggaan satu satunya bagiku. (9)

“Yoo Seok!” Hyung menoleh.

“Oh Eomma! Biar aku saja”. Hyung berjalan menghampiri ibu lalu mengambil alih tas besar yang sedang ibu keluarkan dari bagasi mobil. Kemudian dengan terpincang pincang berjalan masuk ke rumah.

Walaupun setahun yang lalu, dikarenakan kecelakaan lalu lintas dan mengakibatkan kaki kiri Hyung menjadi agak pincang, tapi bagiku beserta keluargaku, Hyung masih tetap seorang pahlawan yang begitu sempurna dan sama sekali tidak pernah berubah. (10)
***
Rumah itu masih terlihat berantakan. Tukang pindah rumah sewaan sibuk berlalu-lalang dengan kotak-kotak besar berisi barang dan meja-meja serta perabot lain. Mengangkat itu, mendorong ini, memaku itu, mengeluarkan ini. (11)

“Tolong yang ini agak hati hati” pinta Ayah.

“Tolong letakkan di tengah-tengah ruang tamu” lanjutnya pada para tukang.

“Yang itu, tolong letakkan di samping pilar itu” perintahnya pada tukang yang lain.

“Yang disana tolong lebih berhati hati ya” yang itu Ibu, memerintah sambil mengelap alat-alat masaknya, pada seorang tukang yang membawa jam dinding.

Dimana-mana seruan hati-hati terus terlontar. Yoo Seok juga ikut berlalu-lalang meski dengan jalannya yang terseok-seok. Sambil lalu, ia menempelkan sebuah kalender pada pilar besar di ruang tengah. May 1997, itu yang tertulis di kalender itu. Sementara itu, Jin Seok sibuk dengan tumpukan buku bukunya, berjongkok dan menata semuanya dalam lemari kayu tinggi di samping pemutar CD. (12)

“Yang ini mau ditaruh di mana?” tanya seorang tukang.

Ah ye, Itu kotak berisi buku ya?” Jin Seok balik bertanya.

“Biar aku saja, biar aku saja”

Kemudian ia berdiri menghampiri si tukang lalu mengambil alih box penuh berisi buku itu dan membawanya menuju kamarnya di lantai dua. Ia berhenti sesaat memandang sebuah kamar dengan pintu tertutup rapat, tepat berada di seberang kamarnya.  Kemudian melangkah masuk ke kamarnya dengan perasaan heran ketika melihat Yoo Seok, Hyungnya, sedang membongkar sebuah box. Hyungnya tak sendiri, ada seorang pria paruh baya yang juga sedang bantu menata barang-barang mereka di sana. (13)

Hyung! Bukankah kita punya kamar masing-masing?”

Yoo Seok mendongak, menatap Jin Seok yang masih berdiri.

“Ah... kau belum tahu ya? Pemilik lama rumah ini meninggalkan beberapa koper di dalam kamar itu” jawabnya.

“Kalau begitu kamar itu nantinya gak bisa digunakan?” tanya Jin Seok lagi.

“Tidak, tidak. Sepertinya gak begitu. Mereka memohon-mohon, Abeoji kita orangnya gak tegaan jadi gak bisa menolak. Harusnya sih gak lama lagi akan didpindahkan” ucap Yoo Seok sambil terkekeh. Jin Seok balas tertawa pelan kemudian menaruh box yang sedari tadi dibawanya, ke lantai.

“Tapi ngomong-ngomong sepertinya kau gak suka berbagi kamar tidur denganku” ucap Yoo seok. Jin Seok balas menatap Hyungnya dengan pandangan usil.
Ia mengangguk “Iya” jawabnya dengan wajah tengil.

“Sudah kuduga, sudah kelihatan” balas Yoo Seok mengangguk-angguk dengan ekspresi memaklumi.
Jin Seok tertawa. “Bercanda bercanda! Aku sekedar tanya saja karena penasaran”

“Yoo Seok!!!” Panggil Ibu di lantai bawah.

“Ya Eomma?”

“Bisa turun bantu Eomma dulu sebentar?” Tanpa menjawab lagi Yoo Seok berdiri dan beranjak pergi seraya mendorong kepala adiknya dengan sengaja.

“Aishhh... Jangan dorong kepalaku! Sel otakku bisa mati!” teriak Jin Seok sambil mengusap kepalanya.

“Gak akan mati” balas Yoo Seok sambil tertawa kemudian hilang di balik tangga menuju lantai bawah.

Jin Seok kembali berkutat dengan buku-bukunya. Mengurutnya, merapihkan, dan menatanya pada lemari kayu lainnya.

“Permisi...”

“Ya?” balasnya sambil menoleh, memastikan siapa yang berbicara padanya. Si pria paruh baya itu yang memanggilnya.

“Yang ini mau taruh di mana?”

“Ah itu... tolong taruh saja di samping ranjang” ucapnya sambil menunjuk ranjangnya.

“Baik”

BRUKKK...

Jin Seok kembali menoleh, si Bapak itu sudah berjongkok sambil membereskan isi kotak yang bercecer di lantai.

“Ah.. apa anda baik-baik saja?” tanya Jin Seok sambil menghampiri si Bapak dan membantunya membereskan barang-barang yang tercecer.

Aigooo... terima kasih”

“Gak apa-apa. Lagipula ini adalah barang-barang kami juga” jawab Jin Seok sambil tersenyum.

“Tapi anu... orang yang barusan lewat itu... Hyung mu ya?”

“Iya... Kenapa?”

“Kau bilang dia adalah Hyung mu?” tanya si Bapak dengan terheran-heran.

Jin Seok menatap si bapak dengan pandangan memaklumi lalu tertawa.

“Begitulah. Kami sama sekali tidak mirip ya?”

“Kalau begitu umur berapa Hyung mu?” tanya si Bapak lagi.

“Kenapa?” tanya Jin Seok merasa heran dengan pertanyaannya.

Belum sempat si Bapak menjawab pertanyaannya, sebuah suara memenginterupsi dari ambang pintu kamar.

Ahjeossi! Sepertinya ada yang mencarimu di dapur” itu Yoo Seok yang sepertinya baru kembali dari lantai bawah.

“Ah iya” dan dengan begitu pria itu beranjak pergi.

Aigoo, Aigoo... mau mati rasanya” ucap Yoo Seok lalu beranjak duduk di depan adiknya yang masih membereskan ceceran barang barangnya.

Mereka berdua lelah. Setelah perjalanan panjang dengan mobil menuju rumah baru mereka, lalu harus langsung menata dan merapihkan semua barang-barang. (14)

Waktu berjalan dengan cepat. Matahari akhirnya mengalah pada sang bulan untuk menggantikan tugasnya menyinari sebagian bumi. Namun sayang, malam itu hujan turun dengan deras dan petir menggelegar. Pendar dingin sang bulan tak terlihat. (15)
***
“Jin Seok, bagaimana menurutmu rumah baru ini?” tanya Ibu di meja makan seraya menghidangkan masakannya untuk makan malam kali ini.

“Kau suka?” sambungnya.

“Sudah kubilang aku suka Eomma” jawabku.

“Serius? Kau benar-benar suka?” tanya Ibu seolah tak percaya dengan jawabanku.

Aigoo... dia sangat suka tuh, selain harus sekamar berdua denganku” bukan aku, itu Hyung yang menyela menjawab pertanyaan Ibu. Ibu dan Ayah tertawa mendengar jawaban Hyung.

“Ah, Dasar!”

“Bersabarlah beberapa waktu, pemilik yang lama bilang sebulan lagi dia akan kembali dan memindahkan koper-kopernya” ucap Ayah.

“Ah, tidak apa-apa Abeoji. Hyung ngarang” balasku meyakinkan ayah.

“Tadi sama sekali tidak terlihat keraguan padamu” Ucap Hyung tidak terima.

Aku tertawa pelan. “Apaan sih? Kapan?”.

“Lagipula, jika ada yang tidak kau mengerti, kau jadi bisa langsung tanyakan pada Hyung. Kan enak begitu?” ucap Ibu.

“Oh ya, Abeoji. Itu... koper di dalam kamar itu isinya apa saja?” tanyaku mengalihkan topik pembicaraan.

“Kurang tahu juga, sepertinya sih barang-barang bekas yang sudah pernah dipakai sebelumnya”

“Barang? Barang apa?”

Ayah mengedikkan bahu. “Anu, cuma untuk berjaga-jaga saja. Kau sama sekali tidak boleh masuk ke kamar itu. Mereka sudah mewanti-wanti supaya kita tidak masuk ke sana”

Aku mendengus geli dan hanya diam. Aku merasa seperti seorang anak kecil.

“Jin Seok, kau masih tetap meminum obatmu tepat waktu kan?” tanya ayah lagi

“Tentu saja, aku selalu minum kok” 

BRUUUK...

Aku terdiam. Suara benda jatuh? Apa itu?. Aku mendongak, suaranya dari atas sana. (16)

“Bunyi apa itu?”

Hyung menoleh “Hm? apa maksudmu?”

“Bunyi dari atas barusan” jawabku.

“Rasanya seperti ada barang berat yang jatuh”

“Bukan suara guntur ya?” tanya ibu ikut dalam pembicaraan.

Aku menggeleng “Bukan, bukan suara guntur”

“Pas di atas sini adalah kamar kecil itu kan?” tanyaku pada ayah.

“Tidak salah memang kamar kecil itu” jawabnya sambil ikut mendongak menatap atap di atasnya.

“Yakin bukan suara guntur?”

“Suara guntur...”. Dan tepat setelah itu suara guntur menggelegar memotong ucapanku.

“Benar tuh! Suara guntur” ucap ibu.
Aku diam sesaat, itu jelas jelas bukan suara petir. “iya ya?”

“Katanya hujan ini baru akan berhenti besok pagi, menurut ramalan cuaca seperti itu” Hyung berucap di sela makannya.

“Sungguh beruntung, hujan baru turun setelah kita selesai pindahan” saut Ibu.

“Iya betul”

Aku hanya diam sambil mengunyah makananku. Masih merasa penasaran dengan bunyi jatuh tadi. Aku makan sambil sesekali mendongak, seperti menerawang, mengira ngira apa yang sedang terjadi di atas sana. (17)
***
Malam semakin larut, namun Jin Seok masih terjaga. Ia sedang berkutat dengan buku pelajarannya. Masih berusaha memecahkan rumus-rumus rumit dan menguraikan angka-angka yang saling berhubungan satu sama lain, ditemani rintik hujan yang masih sama derasnya. Sedang, di kasurnya, Yoo Seok fokus pada buku bacaannya, membaca dengan diterangi sebuah lampu baca yang diletakkan antara kasurnya dan kasur Jin Seok. (18)

Tak lama Jin Seok menguap, merasa lelah. Jam sudah menunjukan pukul 11 malam. Ia akhirnya memutuskan menyudahi belajarnya hari itu, dan beranjak ke kasurnya. Ia tak langsung tidur. Mengambil pemutar musik di meja dan memakai earphonenya. (19)

“Jangan terlalu khawatir” ucap Yoo Seok tiba tiba, masih sambil berfokus pada bacaannya.

“Tentang?” tanya Jin Seok menatap pada kakaknya.

“Kali ini kau pasti bisa lulus” balasnya, kali ini ia tidak lagi berfokus pada bacaannya. Aku hanya diam.

“Kau tidak merasa rumah ini lumayan?” tanyanya lagi, menanyakan hal yang benar-benar berbeda dengan pembahasan sebelumnya. Aku lagi-lagi hanya diam dan menanggapinya dengan senyum kecil.

Aigoo...” Yoo Seok menutup bukunya dan dengan asal menaruh bukunya di atas meja, kemudian melepas kaca matanya.

“Saatnya tidur” ucapnya kemudian berbaring membelakangi Jin Seok.

Tinggal Jin Seok sendiri. Ia kemudian menyetel sebuah lagu dari pemutar musik tuanya sebagai pengantar tidur. Itu lagu ‘Cinta Usang’ dari Lee Moon Sae. Ia tersenyum, meresapi setiap liriknya yang memenuhi telinganya. (20)

BRUUK...

Sampai suara benda jatuh itu kembali terdengar, ia melepas earphonenya. Menatap sekeliling, mencari sumber suara. Tidak ada. Ini hening. (21)

Sepertinya ia salah dengar. Sampai lagi lagi suara itu terdengar. Asalnya dari kamar kecil yang dibicarakan ayahnya saat makan malam. Jin Seok menatap lurus pada celah pintu kamarnya yang terbuka, membuatnya bisa langsung melihat pintu kamar seberang. (22)

Rasa keingintahuannya menggelitik. Akhirnya ia turun dari kasurnya hanya untuk mengecek apakah ia salah dengar atau tidak. Membuka pintu lebih lebar, ia berjalan keluar sambil menatap pintu kamar itu dalam gelap. Dan bunyi itu lagi lagi terdengar, lebih jelas. (23)

Kengerian mulai menjalari tubuhnya, namun rasa ingin tahunya lebih besar, ia perlahan berjalan menghampiri kamar itu. Sampai tepat berada di depannya. Kemudian meraih gagang pintu itu hendak membukanya. (24)

‘Kau sama sekali tidak boleh masuk ke kamar itu’

Ucapan ayahnya terngiang dalam otaknya. Namun rasa ingin tahunya sudah terlalu membludak. Kemudian tanpa pikir panjang, ia semakin mengeratkan pegangannya pada gagang pintu itu dan memutarnya. (25)

Di luar hujan masih sangat deras, menambah kesan horor malam itu. Dan tiba-tiba sesorang menepuk bahunya. Ia terlonjak kaget dan segera menoleh, hanya untuk mendapati Hyungnya telah berdiri di belakangnya dengan wajah kaget pula. Jin Seok menarik napas dalam-dalam, napasnya tersengal karena kaget dan takut. (26)

Ah Hyung!”

“Sedang apa kau di sini” tanyanya.

Hyung! Di dalam situ ada bunyi-bunyi aneh”

“Bunyi-bunyi aneh?”

“Iya. Bunyi-bunyi aneh”

Yoo Seok menatap pintu itu dan menghampirinya. Mendekatkan telinganya di daun pintu, berusaha menguping. “Oh!”  ucapnya.

“Ada kan?” tanya Jin Seok masih dengan jantungnya yang menggebu-gebu.

“Aku tidak mendengar suara apapun”

“Tidak ada?” Jin Seok akhirnya ikut menguping seperti yang dilakukan Hyungnya.

Namun hening. Tidak ada suara apapun. Akhirnya ia mencoba membuka pintunya, sayangnya itu terkuci.

Hyung, beneran ada. Barusan ini ada” Ucap Jin Seok meyakinkan Hyungnya.

“Menurutku kau cuma ngarang saja karena malas belajar”

“Bukan, bukan seperti itu. Beneran! Barusan ada bunyi-bunyi aneh”

Yoo Seok tertawa “Iya iya” lalu berpaling dari pintu itu dan menepuk lengan adiknya. Kemudian menggiringnya menjauhi kamar itu.

“Saat kau mendengar bunyi bunyi aneh, berarti saatnya keluar mencari udara segar”

“Sekarang? Tapi di luar lagi hujan deras. Kau mau ke mana?” tanya Jin Seok.

“kalau hujan kan tinggal bawa payung saja beres”

“Dasar!”

“Aku melihatmu terlalu khawatir. Kau butuh merasakan angin!” ujar Yoo Seok.
***
Sambil berlindung di bawah payung, mereka menatap kota di bawah mereka.

“Hujannya sungguh lebat sekali” gumam Yoo Seok

Hyung... Terima kasih”

“Buat?”

“Ya... gitu”

Yoo Seok tertawa.

“Dasar! Kurang kerjaan”

Drrrtt... Drrrttt...

Itu ponsel Yoo Seok.

“Halo? Ya Abeoji?”

“Iya kami lagi mencari udara segar di depan rumah”

“Iya. Yang itu?”

Yoo Seok menoleh pada Jin Seok seraya tersenyum.

“Baik, aku segera turun ke bawah dan membantumu mencari”

Kemudian Yoo Seok menutup sambungan telpon.

Abeoji ya?”

“Iya, sebelumnya Abeoji pernah meminta bantuanku mencari data, barusan aku ditagih”

Jin Seok mengangguk paham.

“Aku ke sana sebentar, nanti aku balik lagi. Kau tunggu aku di sini sebentar”

“Tidak apa apa, kita sama-sama pulang saja” ujar Jin Seok

“Gak usah. Gak sampai 10 menit kok! Kau tunggulah di sini sebentar”

“Hmmm... baiklah”

Kemudian Yoo Seok berbalik dan terpincang-pincang pergi.  Tinggal Jin Seok sendiri, ia memakai earphonenya. Lalu, menyetel pemutar lagunya sambil melihat-lihat sekeliling. (27)

Sedangkan itu, Yoo Seok tertatih-tatih berjalan di jalanan turun yang licin. Sampai tiba-tiba orang-orang berpakaian serba hitam mengepungnya. (28)

“Siapa kalian?”

Tanpa menjawab pertanyaan Yoo Seok, orang-orang itu menghajarnya dengan brutal. Yoo Seok berusaha balas melawan. Namun apa daya ia kalah jumlah. Bertepatan dengan itu Jin Seok berjalan santai, memutuskan untuk menyusul Hyungnya pulang ke rumah. Masih dengan earphone yang terpasang di telinganya. Di jalanan di bawahnya, Yoo Seok sudah mulai kepayahan, orang-orang itu melemparnya ke dalam mobil van hitam mereka, namun Yoo Seok berhasil menendang mereka dan kabur dengan sisa-sisa tenaganya. (29)  

“Tangkap dia!  Tangkap!”

Dan sayangnya para penculik itu lebih sigap. Mereka berhasil  menangkap Yoo Seok kembali. Jin Seok yang tengah berjalan santai akhirnya melihat kejadian itu, dan segera menyadari apa yang terjadi. Itu Hyungnya!. (30)

HYUNG!!!” teriaknya.

“Cepat seret di pergi!” perintah si penculik pada teman-temannya.
Mendengar itu, Jin Seok segera berlari turun. Para penculik itu dengan sigap menyeret Yoo Seok pergi.

HYUNG!!!”

Jin Seok berusaha mengejar hyungnya secepat yang ia bisa. Hujan deras dan jalanan yang licin serta angin yang bertiup lumayan membuatnya kepayahan. Namun ia tidak peduli. Ia tetap mengejar Hyungnya. (31)

HYUUNGG!!!”

Sayangnya ia terlambat. Yoo Seok sudah dipaksa masuk ke dalam mobil, dan mobil itu segera berjalan. Jin Seok masih berusaha mengejar mobil itu. Namun, tenaganya terkuras dengan cepat. (32)

Hingga di persimpangan antara rumah-rumah, di bawah hujan deras yang mengguyur. Ia berhenti mengejar. Memfokuskan pandangannya pada plat nomor kendaraan mobil itu. (33)

“07Z-8911. 07Z-8911. 07Z-8911...” dengan napas tersengal dan kedinginan Jin Seok mengulang-ulang nomor itu memastikan nomor itu terekam dengan jelas dalam kepalanya.  

Ia berlari kembali menuju rumah, lalu menerjang pintu kamar kedua orang tuanya.

“Jin Seok?!” seru ibunya. Terkejut melihat anak bungsunya datang dengan keadaan basah dan kedinginan.

“Masalah besar. Hyung... Hyung diculik..”

Lalu,

BRUKK...

Jin Seok terjatuh tepat di depan kedua orang tuanya yang panik menatapnya. Ia pingsan.
***
Kilau cahaya mentari yang hangat bersinar dari sela-sela pepohonan. Beberapa kejadian samar terlukis. Rantaian peristiwa-peristiwa mengerikan yang tampak sangat nyata bagiku. Aku di bawa dari satu tempat ke tempat lainnya. (34)

Teriakan seseorang, “Bunuh dia!!!” dan senjata yang terayun tepat di depan mataku. Lalu semuanya samar.

Sekejap aku membuka mata dengan napas terengah. Aku sudah berada di kamarku, dengan ayah dan ibu yang berada di pinggir tempat tidurku.

“Jin Seok, kau sudah sadar?” tanya ibu sambil menggenggam tanganku.

Eomma?”

“iya, ini Eomma” ucapnya, ia terlihat seperti akan menangis.

“Kau baik baik saja?” sambungnya.

Sedangkan ayah hanya diam memperhatikan dengan raut wajah khawatirnya.  Aku mengerjap beberapa kali. Pandanganku masih terasa buram. Kepalaku juga terasa berdenyut hebat. Lalu ingatan tadi malam berkelebat dalam pikiranku. (35)

Hyung ... mana?” tanyaku. Ayah dan ibu saling meempar pandang sebelum akhirnya menatapku dengan raut sedih.

“Dia... masih belum pulang”  jawab ayah.

“Dia juga tidak ada kabar” sambung ibu.

“kalian sudah lapor polisi?”

“Sudah, sebentar lagi mereka akan datang, mereka bilang ingin mendengarmnya langsung darimu” jelas ayah.

Aku menghela napas berat. Berarti yang kualami tadi malam bukan mimpi.
***
Para polisi itu menatapku yang duduk di kursi ruang tamu dengan pandangan menyelidik yang jelas kentara. (36)

“Baiklah” ucap salah seorang polisi yang membawa catatan dan duduk tepat di depanku. Aku yakin dia yang akan menanyaiku.

“Diantara laki laki itu, adakah yang wajah dan perawakannya kau ingat?” tanyanya.
Aku terdiam, berusaha memutar memory tadi malam dalam benakku. Lalu menggeleng lemah. “tidak ada, hujannya terlalu deras. Di tambah langit yang gelap, waktu itu aku sedikit panik” terangku.

Pria itu mengangguk seolah paham, kemudian menulis sesuatu dalam buku catatan yang kutebak selalu di bawa-bawa olehnya. Namun, tiba-tiba sebuah ingatan menelisik pikiranku. (37)

“Ah tapi... aku ingat plat mobilnya!” seruku.

“07Z-89911. Sebuah minibus berwarna hitam”

“Ah... sangat disayangkan” ujar salah seorang polisi lagi yang sedari tadi berdiri menyandar pada tembok di belakangnya.

“Plat nomor itu adalah plat nomor bodongan.” Ujarnya

“Tidak. Aku yakin sekali,07Z-8911”

“Semua mobil minibus di negara ini. Ah tidak, semua kendaraan yang ada di negeri ini, tidak ada satupun yang berplat nomor seperti itu”. Ucap si polisi pembawa catatan.

“Bukan begitu, nomor itu benar-benar nomor platnya”

“tidak, tidak. Demi jaga-jaga sampai plat yang mirip-mirip pun sudah kami selidiki. Tapi sama sekali tidak ada minibus yang berplat itu”

“Ada kemungkinan besar kau salah liat. Dan katanya dikarenakan penyakit neurasthenia, kau jadi mengonsumsi obat-obatan secara teratur” ucap pria yang bersandar pada tembok.

Aku mendongak, merasa kesal dengan ucapan pria itu. “Tidak! Aku yakin sekali! 07Z-8911! Minibus Hitam!” sentakku.

Di sampingku, Ibu berusaha menenangkanku.

“Cukup sampai di sini saja hari ini” ujar Ayah akhirnya.

“Kondisi anak kami sedang sangat lemah, sepertinya ia sangat syok”

“Baiklah kalau begitu”
***
Kemudian...

Penantian panjang yang mebuat orang tidak tenang pun dimulai.

Sehari...

Dua hari...

Kemudian menjadi seminggu.

Penantian-penantian melelahkan yang seolah tanpa hasil.

Sampai akhirnya sepuluh hari sampai lima belas hari berlalu dengan sia-sia. Secara berangsur-angsur polisi mulai merasa bosan dan mulai kehilangan semangat. Aku dan orang tuaku, perlahan-lahan merasa semakin resah. (38)

Malam itu, setelah meminum obat yang dibawakan ibu aku bergegas berbaring. Dan mimpi-mimpi buruk itu kembali bersama seorang pria yang entah membuatku merasakan perasaan fimiliar yang aneh, tapi siapa gerangan pria ini,  aku sama sekali tidak tahu. Dalam mimpiku ia merasakan penderitaan yang luar biasa. Kemudian, aku kembali terbangun dengan napas terengah dan peluh membanjiri serta jantung yang berdegup kencang. (39)

Lalu...

BRUKKK...

Aku kembali mendengar suara itu, dari asal yang sama pula. Namun, kali ini suara itu terdengar berulang-ulang kali. Aku terkesiap, dan menatap pintu kamar di seberang. Tiba-tiba pintu kamarku berayun terbuka semakin lebar. Deritan pintu itu membuatku ngilu. Rasa takut mulai menjalariku. (40)

Pintu di seberang terlihat semakin menakutkan dengan gelapnya lorong yang menjadi jalan utama antar kamarku dengan kamar di seberang. Sampai tiba-tiba gagang bulat di pintu itu berputar, dan pintu itu terbuka sendiri secara perlahan, menambah kengerian. Ruangan itu tanpa cahaya, hanya gelap yang terpancar. (41)

Ketika pintu itu terbuka semakin lebar, gelenyar rasa takutku makin menjadi. Satu satunya yang dapat menjadi tempatku bersembunyi hanya selimut yang sedang melilit badanku. Tanpa berpikir panjang aku bersembunyi di balik selimut itu. Berdiam diri, menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya. Apa yang akan keluar dari sana. (42)

Tak ada suara apa pun yang terdengar di balik selimut. Aku yakin pintu itu sudah menjeblak terbuka sekarang. Tapi ini terlalu hening. Aku penasaran. (43)

Aku masih diam, berusaha menetralkan ketakutanku. Meyakinkan diriku ini semua hanya mimpi belaka. Sampai akhirnya aku bertekad memberanikan diri keluar dari balik selimut. (44)

Aku menghela napas dengan berat. Suasana hening begitu aku keluar dari selimut langsung mendekapku. Didepanku, pintu kamar seberang menjadi pemandangan utama yang kulihat. Menatap pintunya yang sekarang sudah sepenuhnya terbuka. Tidak ada apa apa di sana. Hanya gelap gulita yang mencekam. (45)

Aku menoleh, dan.... . Wanita itu tepat disana, di sampingku. Dengan wajahnya yang menyeramkan dan rambut panjangnya yang berantakan serta gaun tidur putihnya, menatapku dengki. Belum sempat aku berteriak ngeri wanita itu sudah menerjangku. (46)

Dan aku terbangun pada pagi hari di hari ke lima belas Hyung menghilang. Pintu kamarku kembali terayun terbuka, namun kali ini, Ayah dan Ibu muncul bersama Hyung yang tampak berantakan. (47)

Hyung tersenyum lebar menatapku yang terduduk di atas kasur. Kaget, lega, dan bahagia, semua itu bercampur menjadi satu dalam perasaanku. Kuhampiri ia dan kupeluk erat tubuhnya. (48)

Tapi, apa sebenarnya yang telah dilalui olehnya selama belasan hari tersebut, Hyung sama sekali tidak ingat. Menurut dokter, ini adalah amnesia yang disosiatif. Misalnya pada hari-hari sekolah, kenangan buruk pada hari tersebut dihilangkan oleh Hyung dari ingatannya. Dan dokter bilang satu-satunya cara untuk bisa membuatnya mengingat kembali adalah menunggu. (49)

Malam itu aku kembali berbaring di kamar, namun dengan Hyung yang juga ikut berbaring di tempat tidur sebelahku.

Hyung kau sudah tidur?”

“Belum” gumamnya.

“Kami sangat mengkhawatirkanmu” ucapku.

“maaf, semua ini gara garaku”

“Tidak, aku yang bersalah padamu” ucapku.

Hyung hanya menoleh padaku, terdiam dan menatapku lama sampai akhirnya ia mengucapkan 

“Selamat malam”       

Aku tersenyum tulus dan menatapnya. “Hyung juga”

Kemudian ia berbalik dan memejamkan matanya. Aku menatap langit langit kamar, dan ikut tertidur. Sampai tengah malam, aku kembali dibuat terjaga oleh suara bukaan pintu, aku berbalik dan hyung sudah tidak ada di tempat tidurnya. Namun, kantuk menguasaiku, aku tak kuasa menahan lelap. Aku pun kembali tertidur. (50)
***
Pagi datang lebih cepat dari yang kuperkirakan.  Pagi itu damai sekali. Aku bangun dengan senyum. Teringat kejadian tengah malam tadi, aku menengok hyung yang ternyata sudah ada di kasurnya, masih terlelap dengan sangat pulas. (51)

Aku berjalan menuju dapur dan melakukan rutinitasku setiap pagi, meminum obat. Namun sayang, obat itu terjatuh sebelum aku sempat meminumnya. Setelah itu Hyung bangun dan kami makan Jajangmyeon sebagai pengganti sarapan bersama. (52)
Namun ada yang aneh pagi itu, entah aku yang salah lihat atau ini memang benar terjadi. “Hyung... Kenapa yang pincang adalah kaki kananmu?” tanyaku ketika ia beranjak akan pergi ke luar.

“Aku?” tanyanya.

“iya barusan”

“maaf ya.. aku ini lagi terburu-buru, jangan becanda ya” ucapnya kemudian lalu.

Aku memiringkan kepalaku, apa iya aku salah liat?. Tak mau menghiraukannya aku pun kembali melanjutkan makanku. (53)

Hingga malam tiba, hari ini masih terasa sangat damai, kami makan bersama, ibu yang mengomeliku untuk tidak hanya memakan daging, kemudian aku pergi untuk belajar, sampai Hyung yang menggangguku karena tertidur di tengah belajar. (54)

Namun malam itu, aku tidak kembali tidur. Aku hanya menaruh kepalaku sebentar di atas meja. Mengistirahatkannya sejenak. Berikutnya, yang kudengar adalah Hyung yang beranjak dari tempat tidurnya. Berdiri tepat di sampingku, yang merebahkan kepala di atas meja, berpura pura tidur ketika ia bangun. (55)

Entah apa yang ia lakukan di sampingku, tapi aku dapat mendengar suara pensil mekanikku yang dimainkan. Suaranya dekat sekali. Jadi, meski dengan mata tertutup aku tau ia sedang memainkan pensil itu di dekat wajahku. (56) 

Suara pensil itu berhenti seiring dengan suatu benda tipis dan panjang jatuh ke atas jemariku yang menjadi penopang kepalaku. Kemudian suara langkah kaki hyung yang berlalu terdengar, diikuti suara pintu terbuka dan tertutup. (57)

Aku membuka mataku lalu tanpa pikir panjang mengambil jaket dan mengikutinya keluar. Aku diam, mengintip di balik gerbang rumah. Sebenarnya apa yang dilakukan hyung malam-malam begini?. Mau kemana dia?. (58)

Mungkin Hyung merasa curiga, hingga tiba-tiba ia menoleh ke belakang. Untunglah aku dengan sigap menyembunyikan badanku. Menunggu beberapa saat, kemudian aku kembali mengintip. Kali ini lebih aneh, dan lebih mengejutkan. Hyung, kembali berjalan. Namun, dengan dua kaki yang sehat tanpa pincang sedikit pun. (59) 

Ia menghampiri sebuah taksi dan naik ke dalamnya. Kemudian taksi itu melaju entah kemana. Aku keluar dari persembunyianku dan mencegat sebuah taksi lain. (60)

Ahjeossi, tolong kejar taksi yang di depan itu” ujarku pada si sopir.

“apa?”

“Kejar taksi itu! Jangan sampai hilang!”

“Baik”

Jalanan malam itu lengang, hanya ada beberapa mobil yang melaju. Lampu-lampu gedung dan jalanan berpendar bagai kunang-kunang di langit yang gelap, meminta diperhatikan. Namun, mataku hanya tertuju pada taksi di depan sana yang ditumpangi Hyung. (61)

Taksi yang ditumpangi Hyung berhenti di sebuah gang, lalu ia turun dan masuk ke dalam sebuah gang sempit yang kumuh. Masih banyak orang berlalu-lalang di sana, namun tidak ramai. Hyung berjalan keluar masuk gang-gang kecil yang diapit toko-toko. Di belakangnya aku mengendap-endap membuntutinya. (62)

Hingga sampai di sebuah gang yang lebih sempit dan kumuh bahkan dengan pencahayaan yang minim, aku melihatnya menemui dua orang. Atau lebih tepatnya, mengahmpiri dua orang. (63)

“Bos, anda sudah tiba?” ucap salah satu dari mereka.

“Masuk! Bedebah kalian! Kerja tidak becus!”

Di tempatku, aku terkesiap, kaget bukan main. Barusan... Hyung yang berucap?.

“maaf Bos...”

Mereka lanjut membicarakan hal hal yang tidak kumengerti. Aku mengamati dua orang yang memanggil Hyung dengan sebutan bos. Semakin dilihat, aku semakin yakin kalau dua orang itu adalah dua polisi yang datang saat penyelidikan hilangnya Hyung beberapa hari lalu. (63)

Tak lama, Hyung masuk ke dalam bangunan lebih jauh, meninggalkan dua orang itu berjaga di luar. Dan entah bagaimana aku berhasil melewati mereka berdua tanpa ketahuan dan bergerak mengikuti hyung. Menaiki tangga, berbelok pada gang sempit, berjalan lurus, hingga sampai di tikungan ruang buntu Hyung menghilang tanpa jejak. Tidak ada siapa pun di sana. Mengernyit heran, aku berbalik, dan sial. Dua orang yang tadi bicara pada Hyung kini sudah mengahadangku dari pintu keluar. (64)

“Aishhh... Sial, kenapa sampai ke sini hingga kami jadi serba salah” ucap salah satunya yang kuingat sebagai polisi pembawa buku notes.

“Ah... aku pikir di sini ada kesalah pahaman” ucapku berusaha meluruskan keadaan.

Ahjeossi satu ini sungguh menjengkelkan” ucap yang satunya.
Kemudian tanpa tedeng aling-aling mereka bersamaan menyerangku. Beruntunglah aku berhasil menghindar dan berlari menuju jalan keluar.

“Berhenti kau!” teriak salah satunya.

Adegan kejar-kejaran yang biasa kulihat di film, kini tak terelakkan. Aku berlari di sepanjang gang-gang kecil, menjatuhkan tumpukan barang-barang untuk memperlambat mereka. Sampai akhirnya aku berhasil lolos dengan bersembunyi di sebuah celah kecil yang tertutupi bayang-bayang. (65)

“Hei, Coba kau cek sebelah sana! Aku akan cek sebelah situ!” kemudian langkah kaki menjauh terdengar.

Aku menghembuskan napas lega lalu berbalik untuk memeriksa apakah mereka benar-benar sudah pergi. Namun tiba-tiba semua berubah hitam. (66)
***

Aku terbangun ketika cahaya matahari dari jendela menyerobok masuk. Aku di kamarku? aku ketiduran di meja belajar?. (67)

“Ada apa? Kau sudah bangun?” 

Aku terlonjak kaget. Dan menoleh. Hyung berbaring di tempat tidurnya, memandangku heran. (68)

“Ada apa? kenapa begitu?” ia bangun. Memandangku lekat dari tempat tidurnya.

Aku meneguk ludah. Terbayang jelas yang terjadi semalam.

“A-apanya?” jawabku pelan. Sial kenapa aku harus gagap.

“Kenapa begitu kaget? Ada sesuatu yang terjadi?”

Aku menggeleng. “Tti-tidak apa-apa” kemudian beranjak pergi menuju kamar mandi. Dan mengunci pintu kamar mandi. Agar Hyung tak bisa masuk.

“JinSeok! Kau tidak apa-apa? Ada apa?”
Aku terperanjat kaget. 

“Jin Seok! Buka dulu dong pintunya! Buka dulu pintunya!”

“ENYAHH” teriakku.

“oke oke, aku mengerti. Aku cuma mau tanya kenapa kau mendadak jadi seperti ini”
Aku menarik napas.

“Semalam... Aku membuntutimu keluar rumah”

“membuntutiku keluar rumah? Ke mana? Kau kan ttahu, semalam begitu sampai di rumah aku langsung tidur”

“Aku sudah lihat semuanya! Bilang! Siapa pria pria itu? Mereka bukan polisi kan?”

“Siapa? Polisi mana yang kau maksud?”

“PRIA-PRIA YANG MENGEJARKU SEMALAM!”

“Jin Seok... jangan-jangan kau bermimpi yang aneh-aneh lagi”

“DIAMM!!! Mimpi katamu? Tidak! Sangat jelas sekali! Kau kira aku sudah terlelap kan? Ku bahkan dengar suara pensil yang kau mainkan! DIMANA HYUNGKUU?!! Apa yang telah kau perbuat pada Hyungku?! KATAKAN!!!”

Hening. Tak ada jawaban darinya. Aku mengambil sebuah pipa dan membuka pintu kamar mandi secara perlahan. Ia tak ada di depan pintu. Aku menoleh ke sana kemari dengan perasaan was-was. Sampai tiba-tiba ia menerjangku dan merebut pipa itu dariku. Ia dengan mudahnya menjatuhkanku dan mengunci semua pergerakanku. (69)

“PERGI SIALAN!!!” teriakku tepat di wajahnya.

“Jinseok! Tenangkan dirimu!”

“JANGAN MACAM-MACAM KAU!!!”

“Jin Seok! Aku sama sekali tidak pergi ke mana-mana semalam! Pensil , Taksi yang kau tumpangi, dan pria-pria itu, itu semua tidak nyata!”

“Lalu apa?! Ingatanku begitu jelas!”

“itu karena obat! JinSeok! Kau tidak meminum obat mu kan kemarin?”

Dan ingatan hari kemarin, dimana obat itu jatuh pun terekam. Obat sialan.
***
Hyung menemaniku minum obat. Ia menepuk pundakku dua kali, kemudian ia beranjak pergi. (70)

Hyung maaf” ucapku

Ia menoleh dan tersenyum.

“sebentar lagi Eomma pulang. Beristirahatlah”

Kemudian ia pergi. Aku mengintip melalui celah jendela sampai Hyung melintasi jalanan depan rumahku. Tidak ada yang aneh. Ia masih pincang berjalan. Aku mendudukkan diriku di kursi meja belajar. Sepertinya benar ini karena obatku. Sampai aku menemukan pensil mekanik ku yang jatuh ke bawah meja belajar. Dan mataku tertuju pada isi pensilnya yang tergeletak. Memungutnya, aku memandang isi pensil itu lekat-lekat. Dan ucapan Hyung tadi terngiang kembali dalam otakku. (71)

“... Pensil, Taksi yang kau tumpangi, dan pria-pria itu semuanya tidak nyata!”

Taksi?

“Tapi, aku tidak pernah bilang aku naik taksi”

“Jin Seok! Eomma pulang!!!”

Aku bergegas turun ke bawah dan menghampiri ibu yang sedang membuka coatnya.

Eomma!”

“Hmm? Ada apa Jin Seok?”

Aku menariknya menuju meja makan, kemudian menceritakan semuanya pada ibu. Ibu terlihat kaget dan tidak percaya. (72)

“Jin Seok, abeojimu harus tau” ucapnya.

Aku meraih tangannya yang gemetar memegang gelas.

“tidak, tidak eomma, kalau malam ini ia keluar lagi. Kita bangunkan abeoji dan sama sama menyusulnya”

“Jin Seok... apa benar Hyungmu melakukan itu?” ia menatapku dengan sorot mata kecewa yang kentara.

“Tidak Eomma... itu bukan Hyung
***

Malam itu, aku kembali terbangun dengan mimpi buruk yang membayangi. Kali ini, aku bermimpi memasuki kamar seberang dengan sebuah tongkat baseball di tangan untuk berjaga-jaga. Awalnya tidak ada yang aneh, hanya lemari-lemari berdebu yang tertutupi plastik, sampai aku menemukan mayat Hyung yang tergantung di langit-langit kamar. Kemudian aku terbangun dan menyadari semua itu hanya mimpi. Di tempat tidur sampingku, Hyung tidak ada. (73)

Di luar hujan deras mengguyur. Aku beranjak dari tempat tidur menuju dapur. Meminum segelas air, setidaknya untuk menetralisir ketakutanku. Lalu kembali beranjak menuju kamar untuk melanjutkan tidur. Tapi sebuah percakapan kecil di kamar ayah dan ibu membuatku berhenti. (74)

“Sepertinya anak itu sudah tau semuanya” itu suara ibu. Dia sedang mengobrol dengan seseorang di telepon.

“Iya”

“Tadi dia benar-benar bilang seperti itu padaku, dia bilang Hyung bukanlah yang sebenarnya”

“Dia juga menceritakan kejadian yang dilihatnya kemarin saat menguntit ke sana”

“Kaki tidak pincang, polisi juga bukan polisi”

“Setelah itu dia dikejar-kejar. Tapi begitu terbangun dia sudah di kamar. Dia bialang begitu”

“Serius, dia benar bilang seperti itu padaku”

Aku terhenyak. Apa maksudnya ini?.

Aku diam diam berjalan mundur.

Krek...

Sial kenapa aku harus menginjak pulpen di saat seperti ini. Di dalam kamar ibu terlihat was was. Ia beranjak berdiri.  (75)

“Siapa di sana?”

“Jin Seok ya?”

Beruntung, aku berhasil keluar lewat pintu belakang sebelum ibu menemukanku dan bersembunyi di balik pintu. Ibu membuka pintu, namun ia tidak menyadari kehadiranku di balik pintu, kemudian ia menutupnya kembali. (76)

“Bukan, sepertinya aku mendengar suara”

“Jangan-jangan dia turun ke bawah?”

“Sekarang dia lagi tertidur pulas”

“Barusan sudah aku cek!. Aishh... baik, aku coba cek kamarnya”

Mendengar hal itu, aku segera mencari jalan untuk masuk. Tidak mungkin aku masuk lewat pintu. Aku menatap ke atas, ke arah jendela kamarku. Dan memutuskan untuk memanjat naik. Licin. Hujan yang lebat membuat tembok menjadi licin. Berkali kali aku tergelincir. Namun beruntung akhirnya aku dapat masuk ke kamar sebelum ibu. (77)

Aku melompat masuk ke tempat tidur, bersembunyi di balik selimut dan berpura pura tidur. Sampai selimut yang kugunakkan menutupi kepalaku disibakkan kemudia suara langkah kaki menjauh dan pintu tertutup, barulah aku bisa bernapas lega. Aku menyibakkan selimut dari tubuhku yang basah karena air hujan. (78)

“kau baru bangun ya?”

Aku menegang ketika mendengar suara itu. Disana, tepat di pintu masuk, ibu berdiri sambil bersilang tangan. Ia melirik jendelaku yang terbuka, kemudian menatapku kembali. (79)

“peluhmu... begitu banyak. Banyak sekali peluh”

Ia tersenyum yang dalam pandanganku jadi begitu menyeramkan, kemudian berbalik pergi meninggalkanku sendirian.
***
“Argghh.. pftt” Jin Seok menutup mulutnya ketika erang kesakitan lolos dari bibirnya karena terjatuh dari pipa yang menjadi tempat pijakannya.

Ia kembali keluar melalui jendela kamarnya. Saat ini, yang ada di pikirannya hanya keluar secepatnya dari rumah ini. Tanpa memedulikan kakinya, ia berlari menuju pintu keluar. Bersandar pada dinding gerbang sebentar, kemudian tertatih tatih berjalan. (80)

“Jin Seok-ie, mau ke mana?”

Jin Seok menatap lesu pria di depannya.

Abeoji

“Mau ke mana?” tanyanya lagi.

“aku mau ketemuan dengan teman” jawab Jin Seok

“Ah, begitu rupanya”

“Siapa temanmu?” suara seorang wanita yang sedari tadi di hindarinya terdengar.

Jin Seok menoleh kaget. Ibunya sudah berdiri di depan gerbang sambil memegang payung. Seorang pria dengan jaket hitam juga sudah mengepung Jin Seok dibelakang. (81)

“Mau ketemuan sama teman yang mana?”

“Anda tidak kenal, aku cuma sebentar kok!” jawab Jin Seok.

“Jin Seok... tidak boleh sama sekali” pria yang di sebut Jin Seok sebagai ayahnya menjawab sambil tersenyum.

“ayo masuklah ke dalam dan ngobrol sebentar denganku” ia menghampiri Jin Seok dan merentangkan tangannya, mengajaknya masuk.
Jin seok menghindar.

“Kubilang masuk ke dalam” ucap pria itu mutlak.

Jin Seok dengan sigap mendorong pria itu hingga membentur tembok, lalu berlari pergi.

“Tangkap dia!” perintah wanita itu pada para pria itu, yang kemudian langsung mengejar Jin Seok.

“Jangan sampai dia lolos!”

Jin Seok berlari sekuat tenaga, bahkan hingga terpeleset di tikungan yang licin. Namun, ia kembali berlari di antara gang-gang kecil dan toko-toko yang sedang tutup. Sampai ia melihat pos polisi yang di ujung jalan. Ia berlari sekuat tenaga namun pria yang mengejarnya itu berhasil menangkap bahunya kemudian mendorong Jin Seok hingga jatuh. Jin Seok meraung kesakitan. Di depannnya pria itu tersenyum menang sambil menghampirinya. Jin Seok hanya bisa pasrah, sebelum tiba-tiba sebuah motor pengantar makanan hilang kendali dan menabrak tubuh pria yang mengejarnya. (82)

Melihat kesempatan itu Jin Seok tertatih-tatih berdiri. Dan berjalan menuju kantor polisi. Tiba-tiba sebuah mobil polisi hampir menghantam badannya. Namun, beruntung polisi yang mengendarainya berhasil menginjak pedal rem. Jin Seok bersimpuh di atas kap mobil dan menatap kedua polisi di dalamnya. (83)

“Tolong aku, kumohon tolong aku”

Melihat itu, si pria yang mengejar berbalik pergi dan kabur dari sana. Di dalam kantor polisi, kakinya yang telanjang di berikan sepasang sendal, ia juga di berikan selimut dan secangkir teh. Di sudut ruang satunya, seorang polisi sedang menginterogasi tiga pemuda yang terlihat masih sangat muda. Seorang polisi akhirnya kembali datang ke hadapannya, dan duduk dengan sebuah buku catatan di tangannya. (81)

“Biar ku perjelas. Seperti ini kan?”

“Ada sekelompok orang yang telah mengurungmu lebih dari sebulan dan kejadian barusan adalah bagian dari aksi melarikan diri”     

Seorang polisi lagi datang berdiri di belakang polisi yang duduk, ikut memperhatikan.

“Iya betul” ujar Jin Seok

“tempatmu di kurung adalah lantai dua. Mereka berpura pura menjadi keluargamu sehingga kau terpedaya”

“Betul seperti itu”

“Dengan kata lain mereka adalah anggota keluarga anda?” tanya si polisi lagi.

“Benar, benar kata anda”

“Tapi kenapa bisa tertipu? Bukan berarti berpura-pura menjadi keluargamu terus akan tertipu” sela polisi yang berdiri di belakang, ikut masuk dalam pembicaraan.

“itu, aku juga tidak mengerti bagian ini. Aku.. kenapa aku bisa sampai tertipu... itu... “

Polisi di depannya mengangguk mengerti. Lalu menoleh pada rekannya yang lain, yang dari tadi menyibukkan diri di depan komputernya. (82)

“Baiklah. Identitasnya sudah berhasil diketahui?”

“Ya barusan sudah di kettahui” jawab rekannya.

“apa saja yang ada di sana?”

Rekannya memberikan sebuah kertas itu pada polisi yang berdiri. Lalu polisi itu membacanya.

“Nomor KTP 770427 1666177, benar?”

“Iya benar itu aku”

“Tidak ada laporan hilang, juga tidak ada cataatan kriminal. Tidak ada yang abnormal”

“kelahiran tahun ’77, berarti sekarang umurmu 41 tahun?” tanyanya lagi.

Jin Seok mengernyit. 

“maaf? Umurku baru 21”

Polisi di depannya, terlihat hampir tertawa.

Ahjeossi, ini tahun berapa? Kelahiran tahu ’77 mana mungkin umur 21?”

“eh? Karena kelahiran ’77 makanya masih umur 21”

Polisi di depannya menunduk berusaha menahan tawanya

Ahjeossi, coba perhatikan kalender di sana. Coba dibaca!”

Ia menunjuk kalender itu. Jin Seok mengikuti arah tunjuknya.

“Tahun ini adalah tahun 2017”

Jin Seok terperangah bingung. Ia menoleh dan ketiga pemuda itu sedang memvideonya dengan ponsel yang lebih canggih dari yang dimilikinya. (83)

Aigoo.. Ahjeossi ini masalah besar”

Jin Seok berdiri dan menghampiri kalender itu.

Seseorang berteriak pada yang lainnya.

“Coba nyalakan TV. Saatnya berita nih”

TV menyala, menyiarkan sebuah berita tentang presiden korea bersama presiden Trump. Jin Seok terperangah, ia tidak mengerti apa yang sedaqng terjadi. Ia baru menyadari semuanya telah berubah. (84)

Ia menatap cermin yang terpajang pada dinding. Menatap bayangan dirinya di sana. Bayangan seorang pria paruh baya yang acak acakan dan tidak terurus dengan pipi yang tirus. Ia menyentuh wajahnya tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Kepalanya kini di penuhi banyak tanda tanya tak terjawab. Tanpa ia sadari, ia keluar dari kantor polisi dan berjalan menuju rumahnya. Memasuki pintu gerbang dan pintu depan yang lengang. Tak ada siapa pun disana. Perasaannya mengatakan ia akan mendapatkan jawabannya di rumah ini. (85) 

“Keluar!! Keluar dan bicara denganku!!!”

Sebuah musik tiba tiba berputar. Menggema hingga lantai bawah. Asalnya dari atas. Jin Seok menginjakkan kakinya di tangga. Terus naik, sampai bertemu dengan kamar di seberang kamarnya. Musik itu berasal dari sana. Pintu itu terbuka sedikit. Dari celah pintu itu terpancar cahaya terang. Seolah meminta Jin Seok memasuki kamar itu. (86)

Jin Seok menghampiri kamar itu. Itu seperti kamar perempuan biasa. Hanya saja lantai dan perabotannya di baluri cairan semerah darah. Atau memang darah? Di lantai, sebuah manekin gadis remaja bergaun tidur putih dan bersweater abu-abu terbaring. Juga dengan cairan merah itu berbalur di tubuhnya. Seolah olah ia habis terbunuh dan cairan ini semua berasal darinya. Di sampingnya bahkan ada sebilah pisau yang juga berbalur cairan merah itu. (87)

Jin Seok tak bisa berkata-kata. Ia masuk lebih dalam. Di dalam, ada sebuah manekin dengan kondisi yang sama dengan manekin si gadis. Namun yang ini adalah manekin wanita dewasa. (88)

“ini... ini..” gumam Jin Seok linglung.

“Masih belum berhasil ya?”

Jin Seok menoleh. Itu pria yang menyamar jadi hyungnya, datang bersama ayah dan ibu palsunya.  Pria itu berjalan masuk, mematikan tape recorder yang masih memutar musik, lalu menatap Jin Seok. (89)

“Kalian ini siapa?” tanya Jin Seok.

“Hal yang ingin kau ketahui hanya ini? Selain ini hal yang kau ketahui pasti banyak” jawabnya.

“Katakan! Apa yang telah kau lakukan terhadapku”

Pria itu melengos lalu menyalakan rokoknya.

“Dua puluh tahun yang lalu. Tanggal 20 Desember 1997... terjadi sebuah kasus di perumahan di pinggiran kota Seoul, di mana seluruh anggota keluarga dibunuh. Di rumah di mana kakimu sedang berpijak sekarang ini.”
***
Di dalam sebuah kamar, ibu beserta anak perempuannya dibunuh secara brutal dengan senjata tajam. Di tengah kemarahan dan keresahan masyarakat, terbentuklah tim penyidik khusus. Kasus yang menggemparkan seluruh kota, pada akhirnya polisi gagal menangkap pelakunya. (90)

Setahun, dua tahun... waktu pun berlalu begitu saja. Dan kasus ini secara perlahan-lahan dilupakan orang orang. Tenggang kadaluwarsa pununtuta pun telah berakhir dan orang-orang telah melupakan peristiwa ini.  (91)

Tapi, keluarga korban yang ditinggalkan masih belum bisa melupakannya. Mereka membayar orang untuk menginvestigasi ulang kasus ini. Sebulan, du bulan berlalu hingga musim pun berganti. Empat tahun sudah waktu berlalu. Suatu hari di musim semi... akhirnya pelakunya berhasil di temukan. (92)
***
Kini mimpi-mimpi buruk Jin Seok menyatu menjadi satu. Ia ingat sekarang. Dan itu bukanlah mimpi. Itu benar terjadi. Hari-hari dimana ia disekap dan disiksa, dengan darahnya yang mengalir dari seluruh badanya. Dengan pria ini berdiri di depannya. Namun ia mengelak. Tidak mungkin dirinya melakukan semua hal itu. (93)

“Jadi pembunuh itu adalah aku?” tanya Jin Seok

“Betul! Kau”

“Bukan. Tidak mungkin aku melakukan hal itu. Yang lain-lain tidak usah dibahas tapi aku tidak pernah membunuh orang”

“Susah payah kau kami ringkus dan sekarang kau mau mengelak? Dasar keparat! Sudah jelas kau pelakunya”
***
Tapi kenapa makin dilihat makin buka dia. Bukankah manusia punya insting? Sepertinya dia tidak sedang berbohong. Begitu keluarga korban mengetahu hal ini, mereka merasa limbung karena suasana berubah menjadi sangat aneh. (94)

Musuh yang menghabisi keluarga mereka akhirnya berhasil ditemukan. Setelah ditemukan, dendam harus dibalas. Tapi dia malah tidak ingat apa-apa. Kenapa berbuat seperti itu?. Perbuatan satu orang kah? Atau ada komplotannya? Atau atas perintah seseorang? Penjahat yang tidak ingat akan kejahatannya tidak bisa dibunuh begitu saja. Jadi kami mengundang seorang pakar. Pakar hipnotis yang sebelumnya bekerja untuk pihak kepolisian. (95)

“Saya adalah Park Seong Tae”

“Andaikan garis ini adalah hidup Song Jin Seok, di sini adalah periode masa kanak-kanak, 10 tahun, 20 tahun, 30 tahun, dan 40 tahun. Seperti ini pembagiannya”

“Di periode ini, Seong Jin Seok mengalami masa-masa tersulit dia menghilangkan potongan ingatan tersebut. Demi mencari kembali potongan ingatan yang hilang itu dia di hipnotis dan beberapa upaya dilakukan”

“Tapi pertahanan psikologis pada dasarnya memang sangat kuat. Karena itulah tidak berhasil”

Perkiraan kami tidak salah. Dia benar-benar tidak ingat. Amnesia yang bersifat disosiatif. Potongan ingatan yang sangat menyakitkan itu dihapus olehnya dari ingatannya. (96)

“Dengan kata lain, sebelum Song Jin Seok terlibat dalam kasus ini. Harus kembali ke periode sebelum dia terpuruk dalam penderitaan”

“Periode di mana ia merasa bahagia?”

“Betul, harus kembali ke masa tanggal sebelum 1997 bulan Mei tanggal 6”

“dan juga, ini obat barbital yang merupakan obat penginduksi hipnosis. Dia harus di berikan obat ini”

“Bos kami yang hebat ini, masih membutuhkan bantuan seorang madam tua sepertiku?”

“Dulu kau pernah belajar akting kan?”

“Kalau disuruh berakting tentu tidak sesusah itu.”

“Pertama-tama dia akan dihipnotis dan akan berpikir jika dia sedang menikmati pemandangan sambil naik kerata api”

“Naik kereta api tentu akan melewati terowongan. Setiap melewati terowongan waktu akan berputar mundur satu tahun dan kembali ke masa lalunya yang bahagia. Harus memberikan sugesti itu kepadanya”

“Terus, bagaimana caranya?”

“Perhatikan aku”

Pakar hipnotis itu membisikkan kata-kata pada Jin Seok.

“Nah, waktunya untuk masuk ke terowongan pertama”

“Kemudian, keluar dari terowongan. Sekarang tahun berapa?”

Tak ada jawaban.

“Sekarang ini tahu berapa?”

“Aku akan bertanya sekali lagi padamu. Sekarang ini tahun berapa?”

“Tahun 1-9-9-7” jawabnya lemah

“Berapa umurmu?”

“Umur 21 tahun”

“Bagus, sekarang kau lagi ada di mana?”

“Di mobil”

“Di mobil? Dengan siapa? “

“Dengan Eomma, Abeoji, dan Hyung. Sedang dalam perjalanan menuju rumah baru”

“Sedang apa kau di mobil?”

“Sedang tidur sambil bersandar pada Eomma”

“Kau tidurlah dulu yang nyenyak. Pada saat aku membangunkanmu nanti. Kau harus terbangun dari mimpimu ya?”

“Baik”

“Bahkan sekalipun kau terbangun dari mimpimu. Umurmu adalah 21 tahun dan tahunnya adalah 1997. Dan orang orang yang duduk dalam mobil adalah abeoji, eomonim, dan juga Hyung

“Sekarang begitu aku menghitung satu dua tiga kau akan terjaga dari mimpimu”

Ia pasti merasa tidak asing dengan rumah ini. Lumrah bagi seorang pembunuh untuk merasa tidak asing berdiri di depan rumah 20 tahun sebelum dia melakukan aksi pembnuhan. (97)

Supaya pembunuh bisa menemukan kembali ingatannya yang hilang di malam berhujan, TKP harus direkayasa ulang. 20 tahun yang lalu, musik yang diputar di tempat pembunuhan terjadi juga sudah direncanakan. Sisanya adalah memancing pembunuh tersebut masuk ke suasana yang sama persis dengan hari itu. Tapi terjadi variabel yang tidak terduga. (98)

“Polisi!”

“Anda kami tahan atas dugaan kekerasan dan penipuan”

Bertepatan dengan saat itu, polisi-polisi keparat itu berhasil menemukanku dan menangkapku. Setelah ditangkap polisi semua rencana hampir saja gagal. Tapi yang sangat disyukuri adalah kau berhasil menghindari situasi ini. (99)

Ditambah menggunakan uang menelusuri background seseorang, selang 19 hari aakhirnya aku dibebaskan. Kemudian harus kembali ke sana dan mulai merencanakan. Hari-hari penantian hujan turun. Kau yang secara perlahan-lahan berhasil menghilangkan sugesti mulai menunjukan rasa curiga. Pada akhirnya sampai di tempat ini. (100)
***
“Sudah mengerti sekarang? Kenapa kami berbuat seperti ini, kenapa kau harus terpuruk sampai sedemikian”

“Kenapa?” Tanya Jin Seok. Mereka berada di dalam mobil, entah menuju ke mana.

“Kau merasa aku sedang berbohong?”

“Tidak, sepertinya semuanya adalah fakta. Kecuali satu hal” ucap Jin Seok.

“Satu hal apa itu?”

“Bukan aku. Aku tidak pernah membunuh orang”

Pria di hadapannya ini memelototinya.

“Dasar kau sialan! Kau telah membunuh orang dan kau juga akan mati. Kau akan meninggalkan dunia ini dengan cara paling mengenaskan mengerti?”

Jin Seok hanya tersenyum. Kemudian tanpa tedeng aling-aling membuka pintu mobil itu kemudian melompat  ke bahu jalan. Suara klakson panjang sebuah mobil menjadi satu-satunya hal terakhir yang ia dengar, sebelum semuanya berubah hitam. (101)

Mengintip Wayang Tertua di Museum Wayang

  Menurut sejarah wayang diperkirakan sudah ada sejak 1500 tahun yang lalu. Sebuah kebudayaan tua yang terus menerus di wariskan kepada gene...