Museum adalah tempat yang identik sebagai tempat edukasi dan rekreasi. Sebuah lembaga nonprofit yang disediakan
pemerintah untuk masyarakat umum agar dapat mempelajari kekayaan dan sejarah
Indonesia dengan lebih leluasa. Semua orang tahu, museum konvensional umumnya
berisi benda-benda peninggalan bernilai sejarah yang dipamerkan dan biasanya
memiliki keterangan yang menjelaskan tentang sejarah tersebut.
Namun masih cocok-kah museum konvensional
di zaman serba teknologi seperti sekarang ini?. Di zaman globalisasi ini,
manusia sudah sangat dekat dengan teknologi. Dari yang masih kecil hingga yang
dewasa. Terutama kaum remaja atau yang kerap disebut-sebut sebagai generasi
milenial. Mereka biasanya selalu mengikuti perkembangan dunia luar melalui
gadget mereka. Tak ayal kenapa remaja-remaja adalah sasaran paling tepat untuk
dijadikan target pasar potensial.
Pengaruh globalisasi ini tentu berpengaruh
banyak pada karakteristik para remaja ini yang tumbuh bersama teknologi sejak
dini. Entah itu pengaruh yang baik
ataupun pengaruh yang buruk. Salah satu pengaruh buruknya adalah para remaja
sekarang yang lebih berketergantungan kepada internet dan smart phone mereka.
Hal tersebut dikarenakan gadget memiliki
banyak inovasi yang dapat memudahkan pemakainya, tentu saja hal ini tidak
seluruhnya berdampak buruk. Contohnya saja, sekarang buku dapat diterbitkan
dalam bentuk digital (E-Book) ini tentu saja memudahkan, pengguna tidak perlu
bersusah payah mengelilingi toko buku selama berjam-jam untuk mencari buku yang
diinginkan. Hanya perlu mengetikkannya dan Simsalabim! semua ada di genggaman
tangan. Pengguna juga jadi tidak perlu membawa-bawa buku yang berat lagi, cukup
membeli E-Book dan yang perlu Anda bawa hanyalah gadget yang tipis dan ringan.
Kelihatannya ini memberikan dampak positif
bukan? Tapi coba lihat dari sisi lainnya. Hal ini membuat penjualan buku cetak
menurun, lalu jika semua sudah memakai E-Book yang praktis lama-lama keberadaan
buku cetak akan semakin langka dan mungkin akan terancam punah dikemudian hari.
Selain itu jika dilihat dari kacamata kesehatan, menatap gadget terlalu lama
juga tidak bagus untuk kesehatan meskipun itu digunakan untuk membaca.
Nah inilah gambaran yang kira-kira sedang
di hadapi oleh Museum konvensional di zaman serba teknologi ini. Kebanyakan
remaja-remaja jaman sekarang lebih tertarik bermain di tempat-tempat hiburan
ketimbang pergi ke Museum dan belajar tentang sejarah, ini adalah salah satu
akibat dari pergaulan dunia maya yang seringnya lebih mengutamakan konten
menarik. Paling-paling mereka hanya akan pergi ke Museum satu-dua kali setahun
jika ada tugas sekolah dan bukan karena tertarik.
Anak-anak seperti itu cenderung berpikir
bahwa Museum dan sejarah adalah dua hal yang membosankan. Karena alasan inilah
banyak dari kaum milenial yang bahkan tidak tahu sejarah bangsanya sendiri. Hal
yang miris mengingat para pejuang terdahulu yang mati-matian memperjuangkan
kemerdekaan agar anak-cucu mereka kelak dapat hidup nyaman dan tenang. Hal ini bukan berarti mereka tidak pintar, mereka hanya
tidak tertarik dan cepat bosan dengan hal yang monoton. Inilah sebenarnya tugas
utama dari sektor pariwisata, yaitu menarik minat pengunjung.
Meski banyak dampak buruk yang di dapat
dari masuknya teknologi, tentunya kita tidak bisa memblokirnya begitu saja.
Karena peran teknologi pun lumayan besar dalam memajukan bangsa agar menjadi
negara yang maju. Daripada itu lebih baik menggunakannya sebagai senjata
bukan?.
Bukan senjata dalam artian yang buruk,
melainkan senjata untuk menarik minat kaum milenial agar tertarik mengunjungi
museum dan belajar sejarah. Dilansir dalam Merdeka.com, Kepala Unit Pengelola
Museum Fatahilah Jakarta, Sri Kusumawati, SS, M. Si, mengadakan survey dan
kajian tentang pengunjung atau visitor studies, yang dilakukan dengan sampling
gender, usia, dan juga para penyandang disabilitas. Dari survey tersebut
ditemukanlah bahwa generasi milenial menginginkan sesuatu yang baru dan
berbeda. Dari sinilah kita dapat memanfaatkan teknologi.
Bisa dengan memulai mengganti tulisan
keterangan sejarah dengan tablet yang dapat memperlihatkan video atau gambar
yang dilengkapi suara. Itu jauh akan lebih menarik ketimbang hanya membaca
tulisan yang tertera di setiap koleksi. Pengunjung langsung mendapatkan
gambaran yang jelas bagaimana koleksi tersebut digunakan, atau bagaimana
sejarahnya di masa lalu, dan lain lain. Lalu teknologi juga dapat digunakan
untuk menggantikan koleksi yang sudah rapuh. Koleksi-koleksi yang berada di
Museum tentunya merupakan barang peninggalan yang berumur setidaknya puluhan
tahun hingga ribuan tahun. Teknologi dapat menggantikanya sehingga tidak perlu
khawatir lagi koleksi tersebut suatu saat akan rusak.
Teknologi juga dapat menggantikan sistem
loket tiket dengan penjualan online, serta sistem promosi. Generasi Milenial
yang dekat dengan teknologi sudah pasti memiliki setidaknya satu media sosial,
ini dapat dijadikan sebagai media promosi yang menguntungkan.
Tidak hanya pada teknologi, perombakan
operasional Museum dan juga tata hias pun dapat dilakukan agar lebih memberikan
kesan eye catching dan 'berkonten'.
Misalnya saja penambahan event-event interaktif dengan pengunjung, pengadaan
cafe tempat istirahat, dan masih banyak lagi inovasi-inovasi lain yang dapat
ditambahkan. Apalagi di era pandemi seperti sekarang ini, Museum harus berpikir
keras untuk berinovasi agar tidak kehilangan pengunjung.