FORGOTTEN
“Kau
tidak ingat?”
“Aku
tidak ingat” rintih sebuah suara seraya menangis.
“Tidak
ingat?”
Hanya
suara senggukan tangis dan tarikan napas berat yang membalas pertanyaan itu.
“Bunuh
dia!”. Dan semuanya hitam.
***
Pemandangan hijau dan jalanan langsung menyerobok masuk ketika aku
membuka mata. Suara derung mesin mobil menguasai pendengaranku. Aku tersadar,
aku sedang dalam perjalanan yang entah kemana tujuannya. Aku terbangun dengan
peluh yang telah membanjiri wajah dan kudapati tubuhku bergetar serta napasku tersengal
sengal. Aku sadar kemudian, aku ketakutan. (1)
“Omo!
coba lihat keringatmu ini” seorang perempuan yang ku sadari adalah ibu,
menolehkan kepalaku yang bersandar pada pintu mobil.
“Jin
Seok kau tidak apa – apa?” tanyanya lembut.
Aku
hanya menatapnya dengan pandangan takut yang tak bisa kusembunyikan. Kemudian
melirih,
“Eomma...”
“Iya
Jin Seok...” balas Ibu lembut sambil menatapku teduh.
“Sepertinya
Jin Seok habis bermimpi buruk” saut sebuah suara dari kursi pengemudi seraya
terkekeh, itu ayah.
“Abeoji...”
“Kan
kemarin sudah Hyung suruh jangan tidur terlalu malam. Kalau mau pindahan
besok paginya, malamnya harus tidur yang cukup” itu Hyung yang ikut
menyaut di kursi sebelah Ayah yang menyetir.
Aku hanya dapat menatapnya. Ada perasaan aneh yang menelisik, ini
seperti Deja Vu. Terlalu aneh, dan terlalu nyata. Entah dimana dan
kapan, aku merasa pernah mengalaminya. Aku bahkan dapat merasakan rasa
ketakutan dan gelisah membuncah dalam dadaku, yang entah karena apa alasannya.
(2)
“Hyung...”
Di
sampingku, Eomma mengelus lenganku lembut berusaha menenangkan.
“Kemarin
Jin Seok bilang padaku, saking semangatnya mau pindah rumah, dia jadi tidak
bisa tidur” cerita Hyung pada Ayah.
Ayah
terkekeh mendengar perkataan Hyung.
“Tenang,
kita sudah hampir sampai”
“Abeoji!
siang ini enaknya makan apa ya?” tanya Hyung.
“Hari
pindahan tentu saja harus makan jajangmyeon”
Aku hanya terdiam, tak berniat bergabung dalam pembicaraan. Aku
memalingkan wajahku pada jendela mobil yang menyuguhkan pemandangan hijau di
luar. Sedangkan Hyung menanggapi dengan tertawa. (3)
“Abeoji
benar! Kita harus makan jajangmyeon”
Dan dengan begitu mobil yang membawa kami berempat melintasi
jalanan asri dengan pohon-pohon rindang, dan mulai memasuki daerah pemukiman. Hingga akhirnya, kami
sampai di depan sebuah rumah dengan dua mobil truk berisi perabotan terparkir
di depan gerbangnya. Itu rumah baru kami. (4)
Kami berempat turun dari mobil. Seketika aku dibuat terdiam menatap
rumah itu. Ini jelas-jelas pertama kalinya aku melihat rumah baru kami. Namun,
entah kenapa aku merasa sama sekali tidak asing dengan rumah itu. Seperti
beberapa waktu lalu aku pernah bediri di sani dan menatap rumah itu seperti
yang sedang aku lakukan sekarang, seperti itulah perasaanku. (5)
“Bagaimana?
Suka?”
Aku menoleh. Hyung sudah berdiri tepat di sampingku. Ikut
memandang rumah itu sambil tersenyum. Aku hanya diam. Hyung menatapku
sambil terkekeh pelan, lalu merangkulku. (6)
“Aku
tanya bagaimana? Apakah mirip dengan rumah yang ada dalam impianmu?”
Aku akhirnya ikut terkekeh pelan lalu mengangguk puas berharap Hyung
senang dengan jawaban yang ku berikan. Aku menatap Hyung sambil
tersenyum. Hyung ini, sejak SD selalu mempertahankan rankingnya pada
tempat pertama. Dia juga lulusan Universitas terkemuka yang membuat orang–orang
merasa iri hati. Satu kata. Jenius. (7)
Bahkan saat remaja, Hyung telah menunjukan talenta luar
biasa dalam semua aspek. Dia sangat kompetitif. Memiliki bakat alam dalam
bidang olah raga sehingga dijuluki atlet serba bisa. Dan dia dapat dibilang
cukup terampil, semua masalah di rumah tidak perlu memanggil ahlinya. Hanya Hyung
seorang saja sudah bisa memperbaikinya. (8)
Hyung tidak cuma
tidak merokok dan minum-minum, dia juga seorang pria sejati yang tidak pernah
bertutur kata secara kasar. Memiliki logika yang tinggi. Pintar dalam
artikulasi dan memiliki selera humor yang tinggi. Hyung membuat orang
iri dan suka bercampur aduk menjadi satu. Dan tentu saja aku juga memuja Hyung
yang seperti ini. Tidak, aku sangat menaruh respect padanya. Bagi orang yang harus
mengulang pendidikan dua kali dan juga penderita neurasthenia kronis sepertiku,
Hyung adalah kebanggaan satu satunya bagiku. (9)
“Yoo
Seok!” Hyung menoleh.
“Oh Eomma!
Biar aku saja”. Hyung berjalan menghampiri ibu lalu mengambil alih tas
besar yang sedang ibu keluarkan dari bagasi mobil. Kemudian dengan terpincang
pincang berjalan masuk ke rumah.
Walaupun setahun yang lalu, dikarenakan kecelakaan lalu lintas dan
mengakibatkan kaki kiri Hyung menjadi agak pincang, tapi bagiku beserta
keluargaku, Hyung masih tetap seorang pahlawan yang begitu sempurna dan
sama sekali tidak pernah berubah. (10)
***
Rumah itu masih terlihat berantakan. Tukang pindah rumah sewaan
sibuk berlalu-lalang dengan kotak-kotak besar berisi barang dan meja-meja serta
perabot lain. Mengangkat itu, mendorong ini, memaku itu, mengeluarkan ini. (11)
“Tolong
yang ini agak hati hati” pinta Ayah.
“Tolong
letakkan di tengah-tengah ruang tamu” lanjutnya pada para tukang.
“Yang
itu, tolong letakkan di samping pilar itu” perintahnya pada tukang yang lain.
“Yang
disana tolong lebih berhati hati ya” yang itu Ibu, memerintah sambil mengelap
alat-alat masaknya, pada seorang tukang yang membawa jam dinding.
Dimana-mana seruan hati-hati terus terlontar. Yoo Seok juga ikut
berlalu-lalang meski dengan jalannya yang terseok-seok. Sambil lalu, ia
menempelkan sebuah kalender pada pilar besar di ruang tengah. May 1997, itu
yang tertulis di kalender itu. Sementara itu, Jin Seok sibuk dengan tumpukan
buku bukunya, berjongkok dan menata semuanya dalam lemari kayu tinggi di
samping pemutar CD. (12)
“Yang
ini mau ditaruh di mana?” tanya seorang tukang.
“Ah
ye, Itu kotak berisi buku ya?” Jin Seok balik bertanya.
“Biar
aku saja, biar aku saja”
Kemudian ia berdiri menghampiri si tukang lalu mengambil alih box
penuh berisi buku itu dan membawanya menuju kamarnya di lantai dua. Ia berhenti
sesaat memandang sebuah kamar dengan pintu tertutup rapat, tepat berada di
seberang kamarnya. Kemudian melangkah
masuk ke kamarnya dengan perasaan heran ketika melihat Yoo Seok, Hyungnya,
sedang membongkar sebuah box. Hyungnya tak sendiri, ada seorang pria
paruh baya yang juga sedang bantu menata barang-barang mereka di sana. (13)
“Hyung!
Bukankah kita punya kamar masing-masing?”
Yoo
Seok mendongak, menatap Jin Seok yang masih berdiri.
“Ah...
kau belum tahu ya? Pemilik lama rumah ini meninggalkan beberapa koper di dalam
kamar itu” jawabnya.
“Kalau
begitu kamar itu nantinya gak bisa digunakan?” tanya Jin Seok lagi.
“Tidak,
tidak. Sepertinya gak begitu. Mereka memohon-mohon, Abeoji kita orangnya
gak tegaan jadi gak bisa menolak. Harusnya sih gak lama lagi akan didpindahkan”
ucap Yoo Seok sambil terkekeh. Jin Seok balas tertawa pelan kemudian menaruh
box yang sedari tadi dibawanya, ke lantai.
“Tapi
ngomong-ngomong sepertinya kau gak suka berbagi kamar tidur denganku” ucap Yoo
seok. Jin Seok balas menatap Hyungnya dengan pandangan usil.
Ia
mengangguk “Iya” jawabnya dengan wajah tengil.
“Sudah
kuduga, sudah kelihatan” balas Yoo Seok mengangguk-angguk dengan ekspresi
memaklumi.
Jin
Seok tertawa. “Bercanda bercanda! Aku sekedar tanya saja karena penasaran”
“Yoo
Seok!!!” Panggil Ibu di lantai bawah.
“Ya Eomma?”
“Bisa
turun bantu Eomma dulu sebentar?” Tanpa menjawab lagi Yoo Seok berdiri
dan beranjak pergi seraya mendorong kepala adiknya dengan sengaja.
“Aishhh...
Jangan dorong kepalaku! Sel otakku bisa mati!” teriak Jin Seok sambil mengusap
kepalanya.
“Gak
akan mati” balas Yoo Seok sambil tertawa kemudian hilang di balik tangga menuju
lantai bawah.
Jin
Seok kembali berkutat dengan buku-bukunya. Mengurutnya, merapihkan, dan
menatanya pada lemari kayu lainnya.
“Permisi...”
“Ya?”
balasnya sambil menoleh, memastikan siapa yang berbicara padanya. Si pria paruh
baya itu yang memanggilnya.
“Yang
ini mau taruh di mana?”
“Ah
itu... tolong taruh saja di samping ranjang” ucapnya sambil menunjuk
ranjangnya.
“Baik”
BRUKKK...
Jin
Seok kembali menoleh, si Bapak itu sudah berjongkok sambil membereskan isi
kotak yang bercecer di lantai.
“Ah..
apa anda baik-baik saja?” tanya Jin Seok sambil menghampiri si Bapak dan
membantunya membereskan barang-barang yang tercecer.
“Aigooo...
terima kasih”
“Gak
apa-apa. Lagipula ini adalah barang-barang kami juga” jawab Jin Seok sambil
tersenyum.
“Tapi
anu... orang yang barusan lewat itu... Hyung mu ya?”
“Iya...
Kenapa?”
“Kau
bilang dia adalah Hyung mu?” tanya si Bapak dengan terheran-heran.
Jin
Seok menatap si bapak dengan pandangan memaklumi lalu tertawa.
“Begitulah.
Kami sama sekali tidak mirip ya?”
“Kalau
begitu umur berapa Hyung mu?” tanya si Bapak lagi.
“Kenapa?”
tanya Jin Seok merasa heran dengan pertanyaannya.
Belum
sempat si Bapak menjawab pertanyaannya, sebuah suara memenginterupsi dari
ambang pintu kamar.
“Ahjeossi!
Sepertinya ada yang mencarimu di dapur” itu Yoo Seok yang sepertinya baru
kembali dari lantai bawah.
“Ah
iya” dan dengan begitu pria itu beranjak pergi.
“Aigoo,
Aigoo... mau mati rasanya” ucap Yoo Seok lalu beranjak duduk di depan
adiknya yang masih membereskan ceceran barang barangnya.
Mereka berdua lelah. Setelah perjalanan panjang dengan mobil menuju
rumah baru mereka, lalu harus langsung menata dan merapihkan semua barang-barang.
(14)
Waktu berjalan dengan cepat. Matahari akhirnya mengalah pada sang
bulan untuk menggantikan tugasnya menyinari sebagian bumi. Namun sayang, malam
itu hujan turun dengan deras dan petir menggelegar. Pendar dingin sang bulan
tak terlihat. (15)
***
“Jin
Seok, bagaimana menurutmu rumah baru ini?” tanya Ibu di meja makan seraya
menghidangkan masakannya untuk makan malam kali ini.
“Kau
suka?” sambungnya.
“Sudah
kubilang aku suka Eomma” jawabku.
“Serius?
Kau benar-benar suka?” tanya Ibu seolah tak percaya dengan jawabanku.
“Aigoo...
dia sangat suka tuh, selain harus sekamar berdua denganku” bukan aku, itu Hyung
yang menyela menjawab pertanyaan Ibu. Ibu dan Ayah tertawa mendengar jawaban
Hyung.
“Ah,
Dasar!”
“Bersabarlah
beberapa waktu, pemilik yang lama bilang sebulan lagi dia akan kembali dan
memindahkan koper-kopernya” ucap Ayah.
“Ah,
tidak apa-apa Abeoji. Hyung ngarang” balasku meyakinkan ayah.
“Tadi
sama sekali tidak terlihat keraguan padamu” Ucap Hyung tidak terima.
Aku
tertawa pelan. “Apaan sih? Kapan?”.
“Lagipula,
jika ada yang tidak kau mengerti, kau jadi bisa langsung tanyakan pada Hyung.
Kan enak begitu?” ucap Ibu.
“Oh
ya, Abeoji. Itu... koper di dalam kamar itu isinya apa saja?” tanyaku
mengalihkan topik pembicaraan.
“Kurang
tahu juga, sepertinya sih barang-barang bekas yang sudah pernah dipakai
sebelumnya”
“Barang?
Barang apa?”
Ayah
mengedikkan bahu. “Anu, cuma untuk berjaga-jaga saja. Kau sama sekali tidak
boleh masuk ke kamar itu. Mereka sudah mewanti-wanti supaya kita tidak masuk ke
sana”
Aku
mendengus geli dan hanya diam. Aku merasa seperti seorang anak kecil.
“Jin
Seok, kau masih tetap meminum obatmu tepat waktu kan?” tanya ayah lagi
“Tentu
saja, aku selalu minum kok”
BRUUUK...
Aku
terdiam. Suara benda jatuh? Apa itu?. Aku mendongak, suaranya dari atas sana.
(16)
“Bunyi
apa itu?”
Hyung menoleh “Hm? apa maksudmu?”
“Bunyi
dari atas barusan” jawabku.
“Rasanya
seperti ada barang berat yang jatuh”
“Bukan
suara guntur ya?” tanya ibu ikut dalam pembicaraan.
Aku
menggeleng “Bukan, bukan suara guntur”
“Pas
di atas sini adalah kamar kecil itu kan?” tanyaku pada ayah.
“Tidak
salah memang kamar kecil itu” jawabnya sambil ikut mendongak menatap atap di
atasnya.
“Yakin
bukan suara guntur?”
“Suara
guntur...”. Dan tepat setelah itu suara guntur menggelegar memotong ucapanku.
“Benar
tuh! Suara guntur” ucap ibu.
Aku
diam sesaat, itu jelas jelas bukan suara petir. “iya ya?”
“Katanya
hujan ini baru akan berhenti besok pagi, menurut ramalan cuaca seperti itu” Hyung
berucap di sela makannya.
“Sungguh
beruntung, hujan baru turun setelah kita selesai pindahan” saut Ibu.
“Iya
betul”
Aku hanya diam sambil mengunyah makananku. Masih merasa penasaran
dengan bunyi jatuh tadi. Aku makan sambil sesekali mendongak, seperti
menerawang, mengira ngira apa yang sedang terjadi di atas sana. (17)
***
Malam semakin larut, namun Jin Seok masih terjaga. Ia sedang
berkutat dengan buku pelajarannya. Masih berusaha memecahkan rumus-rumus rumit
dan menguraikan angka-angka yang saling berhubungan satu sama lain, ditemani
rintik hujan yang masih sama derasnya. Sedang, di kasurnya, Yoo Seok fokus pada
buku bacaannya, membaca dengan diterangi sebuah lampu baca yang diletakkan
antara kasurnya dan kasur Jin Seok. (18)
Tak lama Jin Seok menguap, merasa lelah. Jam sudah menunjukan pukul
11 malam. Ia akhirnya memutuskan menyudahi belajarnya hari itu, dan beranjak ke
kasurnya. Ia tak langsung tidur. Mengambil pemutar musik di meja dan memakai
earphonenya. (19)
“Jangan
terlalu khawatir” ucap Yoo Seok tiba tiba, masih sambil berfokus pada
bacaannya.
“Tentang?”
tanya Jin Seok menatap pada kakaknya.
“Kali
ini kau pasti bisa lulus” balasnya, kali ini ia tidak lagi berfokus pada
bacaannya. Aku hanya diam.
“Kau
tidak merasa rumah ini lumayan?” tanyanya lagi, menanyakan hal yang benar-benar
berbeda dengan pembahasan sebelumnya. Aku lagi-lagi hanya diam dan
menanggapinya dengan senyum kecil.
“Aigoo...”
Yoo Seok menutup bukunya dan dengan asal menaruh bukunya di atas meja, kemudian
melepas kaca matanya.
“Saatnya
tidur” ucapnya kemudian berbaring membelakangi Jin Seok.
Tinggal Jin Seok sendiri. Ia kemudian menyetel sebuah lagu dari
pemutar musik tuanya sebagai pengantar tidur. Itu lagu ‘Cinta Usang’ dari Lee
Moon Sae. Ia tersenyum, meresapi setiap liriknya yang memenuhi telinganya. (20)
BRUUK...
Sampai suara benda jatuh itu kembali terdengar, ia melepas
earphonenya. Menatap sekeliling, mencari sumber suara. Tidak ada. Ini hening. (21)
Sepertinya ia salah dengar. Sampai lagi lagi suara itu terdengar. Asalnya
dari kamar kecil yang dibicarakan ayahnya saat makan malam. Jin Seok menatap
lurus pada celah pintu kamarnya yang terbuka, membuatnya bisa langsung melihat
pintu kamar seberang. (22)
Rasa keingintahuannya menggelitik. Akhirnya ia turun dari kasurnya
hanya untuk mengecek apakah ia salah dengar atau tidak. Membuka pintu lebih
lebar, ia berjalan keluar sambil menatap pintu kamar itu dalam gelap. Dan bunyi
itu lagi lagi terdengar, lebih jelas. (23)
Kengerian mulai menjalari tubuhnya, namun rasa ingin tahunya lebih
besar, ia perlahan berjalan menghampiri kamar itu. Sampai tepat berada di
depannya. Kemudian meraih gagang pintu itu hendak membukanya. (24)
‘Kau
sama sekali tidak boleh masuk ke kamar itu’
Ucapan ayahnya terngiang dalam otaknya. Namun rasa ingin tahunya
sudah terlalu membludak. Kemudian tanpa pikir panjang, ia semakin mengeratkan
pegangannya pada gagang pintu itu dan memutarnya. (25)
Di luar hujan masih sangat deras, menambah kesan horor malam itu.
Dan tiba-tiba sesorang menepuk bahunya. Ia terlonjak kaget dan segera menoleh,
hanya untuk mendapati Hyungnya telah berdiri di belakangnya dengan wajah
kaget pula. Jin Seok menarik napas dalam-dalam, napasnya tersengal karena kaget
dan takut. (26)
“Ah
Hyung!”
“Sedang
apa kau di sini” tanyanya.
“Hyung!
Di dalam situ ada bunyi-bunyi aneh”
“Bunyi-bunyi
aneh?”
“Iya.
Bunyi-bunyi aneh”
Yoo
Seok menatap pintu itu dan menghampirinya. Mendekatkan telinganya di daun
pintu, berusaha menguping. “Oh!” ucapnya.
“Ada
kan?” tanya Jin Seok masih dengan jantungnya yang menggebu-gebu.
“Aku
tidak mendengar suara apapun”
“Tidak
ada?” Jin Seok akhirnya ikut menguping seperti yang dilakukan Hyungnya.
Namun
hening. Tidak ada suara apapun. Akhirnya ia mencoba membuka pintunya, sayangnya
itu terkuci.
“Hyung,
beneran ada. Barusan ini ada” Ucap Jin Seok meyakinkan Hyungnya.
“Menurutku
kau cuma ngarang saja karena malas belajar”
“Bukan,
bukan seperti itu. Beneran! Barusan ada bunyi-bunyi aneh”
Yoo
Seok tertawa “Iya iya” lalu berpaling dari pintu itu dan menepuk lengan
adiknya. Kemudian menggiringnya menjauhi kamar itu.
“Saat
kau mendengar bunyi bunyi aneh, berarti saatnya keluar mencari udara segar”
“Sekarang?
Tapi di luar lagi hujan deras. Kau mau ke mana?” tanya Jin Seok.
“kalau
hujan kan tinggal bawa payung saja beres”
“Dasar!”
“Aku
melihatmu terlalu khawatir. Kau butuh merasakan angin!” ujar Yoo Seok.
***
Sambil
berlindung di bawah payung, mereka menatap kota di bawah mereka.
“Hujannya
sungguh lebat sekali” gumam Yoo Seok
“Hyung...
Terima kasih”
“Buat?”
“Ya...
gitu”
Yoo
Seok tertawa.
“Dasar!
Kurang kerjaan”
Drrrtt...
Drrrttt...
Itu
ponsel Yoo Seok.
“Halo?
Ya Abeoji?”
“Iya kami lagi mencari udara segar di depan
rumah”
“Iya.
Yang itu?”
Yoo
Seok menoleh pada Jin Seok seraya tersenyum.
“Baik,
aku segera turun ke bawah dan membantumu mencari”
Kemudian
Yoo Seok menutup sambungan telpon.
“Abeoji
ya?”
“Iya,
sebelumnya Abeoji pernah meminta bantuanku mencari data, barusan aku
ditagih”
Jin
Seok mengangguk paham.
“Aku
ke sana sebentar, nanti aku balik lagi. Kau tunggu aku di sini sebentar”
“Tidak
apa apa, kita sama-sama pulang saja” ujar Jin Seok
“Gak
usah. Gak sampai 10 menit kok! Kau tunggulah di sini sebentar”
“Hmmm...
baiklah”
Kemudian Yoo Seok berbalik dan terpincang-pincang pergi. Tinggal Jin Seok sendiri, ia memakai
earphonenya. Lalu, menyetel pemutar lagunya sambil melihat-lihat sekeliling.
(27)
Sedangkan itu, Yoo Seok tertatih-tatih berjalan di jalanan turun
yang licin. Sampai tiba-tiba orang-orang berpakaian serba hitam mengepungnya. (28)
“Siapa
kalian?”
Tanpa menjawab pertanyaan
Yoo Seok, orang-orang itu menghajarnya dengan brutal. Yoo Seok berusaha balas
melawan. Namun apa daya ia kalah jumlah. Bertepatan dengan itu Jin Seok
berjalan santai, memutuskan untuk menyusul Hyungnya pulang ke rumah.
Masih dengan earphone yang terpasang di telinganya. Di jalanan di bawahnya, Yoo
Seok sudah mulai kepayahan, orang-orang itu melemparnya ke dalam mobil van
hitam mereka, namun Yoo Seok berhasil menendang mereka dan kabur dengan
sisa-sisa tenaganya. (29)
“Tangkap
dia! Tangkap!”
Dan sayangnya para penculik itu lebih sigap. Mereka berhasil menangkap Yoo Seok kembali. Jin Seok yang
tengah berjalan santai akhirnya melihat kejadian itu, dan segera menyadari apa
yang terjadi. Itu Hyungnya!. (30)
“HYUNG!!!”
teriaknya.
“Cepat
seret di pergi!” perintah si penculik pada teman-temannya.
Mendengar
itu, Jin Seok segera berlari turun. Para penculik itu dengan sigap menyeret Yoo
Seok pergi.
“HYUNG!!!”
Jin Seok berusaha mengejar hyungnya secepat yang ia bisa.
Hujan deras dan jalanan yang licin serta angin yang bertiup lumayan membuatnya
kepayahan. Namun ia tidak peduli. Ia tetap mengejar Hyungnya. (31)
“HYUUNGG!!!”
Sayangnya ia terlambat. Yoo Seok sudah dipaksa masuk ke dalam
mobil, dan mobil itu segera berjalan. Jin Seok masih berusaha mengejar mobil
itu. Namun, tenaganya terkuras dengan cepat. (32)
Hingga di persimpangan antara rumah-rumah, di bawah hujan deras
yang mengguyur. Ia berhenti mengejar. Memfokuskan pandangannya pada plat nomor
kendaraan mobil itu. (33)
“07Z-8911.
07Z-8911. 07Z-8911...” dengan napas tersengal dan kedinginan Jin Seok
mengulang-ulang nomor itu memastikan nomor itu terekam dengan jelas dalam
kepalanya.
Ia
berlari kembali menuju rumah, lalu menerjang pintu kamar kedua orang tuanya.
“Jin Seok?!” seru ibunya. Terkejut melihat
anak bungsunya datang dengan keadaan basah dan kedinginan.
“Masalah
besar. Hyung... Hyung diculik..”
Lalu,
BRUKK...
Jin
Seok terjatuh tepat di depan kedua orang tuanya yang panik menatapnya. Ia
pingsan.
***
Kilau cahaya mentari yang hangat bersinar dari sela-sela pepohonan.
Beberapa kejadian samar terlukis. Rantaian peristiwa-peristiwa mengerikan yang
tampak sangat nyata bagiku. Aku di bawa dari satu tempat ke tempat lainnya. (34)
Teriakan
seseorang, “Bunuh dia!!!” dan senjata yang terayun tepat di depan mataku. Lalu
semuanya samar.
Sekejap aku membuka mata dengan napas terengah. Aku sudah berada di
kamarku, dengan ayah dan ibu yang berada di pinggir tempat tidurku.
“Jin
Seok, kau sudah sadar?” tanya ibu sambil menggenggam tanganku.
“Eomma?”
“iya,
ini Eomma” ucapnya, ia terlihat seperti akan menangis.
“Kau
baik baik saja?” sambungnya.
Sedangkan ayah hanya diam memperhatikan dengan raut wajah
khawatirnya. Aku mengerjap beberapa
kali. Pandanganku masih terasa buram. Kepalaku juga terasa berdenyut hebat.
Lalu ingatan tadi malam berkelebat dalam pikiranku. (35)
“Hyung
... mana?” tanyaku. Ayah dan ibu saling meempar pandang sebelum akhirnya
menatapku dengan raut sedih.
“Dia...
masih belum pulang” jawab ayah.
“Dia
juga tidak ada kabar” sambung ibu.
“kalian
sudah lapor polisi?”
“Sudah,
sebentar lagi mereka akan datang, mereka bilang ingin mendengarmnya langsung
darimu” jelas ayah.
Aku
menghela napas berat. Berarti yang kualami tadi malam bukan mimpi.
***
Para polisi itu menatapku yang duduk di kursi ruang tamu dengan
pandangan menyelidik yang jelas kentara. (36)
“Baiklah”
ucap salah seorang polisi yang membawa catatan dan duduk tepat di depanku. Aku
yakin dia yang akan menanyaiku.
“Diantara
laki laki itu, adakah yang wajah dan perawakannya kau ingat?” tanyanya.
Aku terdiam,
berusaha memutar memory tadi malam dalam benakku. Lalu menggeleng lemah.
“tidak ada, hujannya terlalu deras. Di tambah langit yang gelap, waktu itu aku
sedikit panik” terangku.
Pria itu mengangguk seolah paham, kemudian menulis sesuatu dalam
buku catatan yang kutebak selalu di bawa-bawa olehnya. Namun, tiba-tiba sebuah
ingatan menelisik pikiranku. (37)
“Ah
tapi... aku ingat plat mobilnya!” seruku.
“07Z-89911.
Sebuah minibus berwarna hitam”
“Ah...
sangat disayangkan” ujar salah seorang polisi lagi yang sedari tadi berdiri
menyandar pada tembok di belakangnya.
“Plat
nomor itu adalah plat nomor bodongan.” Ujarnya
“Tidak.
Aku yakin sekali,07Z-8911”
“Semua
mobil minibus di negara ini. Ah tidak, semua kendaraan yang ada di negeri ini,
tidak ada satupun yang berplat nomor seperti itu”. Ucap si polisi pembawa
catatan.
“Bukan
begitu, nomor itu benar-benar nomor platnya”
“tidak,
tidak. Demi jaga-jaga sampai plat yang mirip-mirip pun sudah kami selidiki.
Tapi sama sekali tidak ada minibus yang berplat itu”
“Ada
kemungkinan besar kau salah liat. Dan katanya dikarenakan penyakit neurasthenia,
kau jadi mengonsumsi obat-obatan secara teratur” ucap pria yang bersandar pada
tembok.
Aku
mendongak, merasa kesal dengan ucapan pria itu. “Tidak! Aku yakin sekali! 07Z-8911!
Minibus Hitam!” sentakku.
Di
sampingku, Ibu berusaha menenangkanku.
“Cukup
sampai di sini saja hari ini” ujar Ayah akhirnya.
“Kondisi
anak kami sedang sangat lemah, sepertinya ia sangat syok”
“Baiklah kalau begitu”
***
Kemudian...
Penantian
panjang yang mebuat orang tidak tenang pun dimulai.
Sehari...
Dua
hari...
Kemudian
menjadi seminggu.
Penantian-penantian
melelahkan yang seolah tanpa hasil.
Sampai akhirnya sepuluh hari sampai lima belas hari berlalu dengan
sia-sia. Secara berangsur-angsur polisi mulai merasa bosan dan mulai kehilangan
semangat. Aku dan orang tuaku, perlahan-lahan merasa semakin resah. (38)
Malam itu, setelah meminum obat yang dibawakan ibu aku bergegas
berbaring. Dan mimpi-mimpi buruk itu kembali bersama seorang pria yang entah
membuatku merasakan perasaan fimiliar yang aneh, tapi siapa gerangan pria ini, aku sama sekali tidak tahu. Dalam mimpiku ia
merasakan penderitaan yang luar biasa. Kemudian, aku kembali terbangun dengan
napas terengah dan peluh membanjiri serta jantung yang berdegup kencang. (39)
Lalu...
BRUKKK...
Aku kembali mendengar suara itu, dari asal yang sama pula. Namun,
kali ini suara itu terdengar berulang-ulang kali. Aku terkesiap, dan menatap
pintu kamar di seberang. Tiba-tiba pintu kamarku berayun terbuka semakin lebar.
Deritan pintu itu membuatku ngilu. Rasa takut mulai menjalariku. (40)
Pintu di seberang terlihat semakin menakutkan dengan gelapnya
lorong yang menjadi jalan utama antar kamarku dengan kamar di seberang. Sampai
tiba-tiba gagang bulat di pintu itu berputar, dan pintu itu terbuka sendiri
secara perlahan, menambah kengerian. Ruangan itu tanpa cahaya, hanya gelap yang
terpancar. (41)
Ketika pintu itu terbuka semakin lebar, gelenyar rasa takutku makin
menjadi. Satu satunya yang dapat menjadi tempatku bersembunyi hanya selimut
yang sedang melilit badanku. Tanpa berpikir panjang aku bersembunyi di balik
selimut itu. Berdiam diri, menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya. Apa yang
akan keluar dari sana. (42)
Tak ada suara apa pun yang terdengar di balik selimut. Aku yakin
pintu itu sudah menjeblak terbuka sekarang. Tapi ini terlalu hening. Aku
penasaran. (43)
Aku masih diam, berusaha menetralkan ketakutanku. Meyakinkan diriku
ini semua hanya mimpi belaka. Sampai akhirnya aku bertekad memberanikan diri
keluar dari balik selimut. (44)
Aku menghela napas dengan berat. Suasana hening begitu aku keluar
dari selimut langsung mendekapku. Didepanku, pintu kamar seberang menjadi
pemandangan utama yang kulihat. Menatap pintunya yang sekarang sudah sepenuhnya
terbuka. Tidak ada apa apa di sana. Hanya gelap gulita yang mencekam. (45)
Aku menoleh, dan.... . Wanita itu tepat disana, di sampingku.
Dengan wajahnya yang menyeramkan dan rambut panjangnya yang berantakan serta
gaun tidur putihnya, menatapku dengki. Belum sempat aku berteriak ngeri wanita
itu sudah menerjangku. (46)
Dan aku terbangun pada pagi hari di hari ke lima belas Hyung
menghilang. Pintu kamarku kembali terayun terbuka, namun kali ini, Ayah dan Ibu
muncul bersama Hyung yang tampak berantakan. (47)
Hyung tersenyum
lebar menatapku yang terduduk di atas kasur. Kaget, lega, dan bahagia, semua
itu bercampur menjadi satu dalam perasaanku. Kuhampiri ia dan kupeluk erat
tubuhnya. (48)
Tapi, apa sebenarnya yang telah dilalui olehnya selama belasan hari
tersebut, Hyung sama sekali tidak ingat. Menurut dokter, ini adalah amnesia
yang disosiatif. Misalnya pada hari-hari sekolah, kenangan buruk pada hari
tersebut dihilangkan oleh Hyung dari ingatannya. Dan dokter bilang satu-satunya
cara untuk bisa membuatnya mengingat kembali adalah menunggu. (49)
Malam
itu aku kembali berbaring di kamar, namun dengan Hyung yang juga ikut
berbaring di tempat tidur sebelahku.
“Hyung
kau sudah tidur?”
“Belum”
gumamnya.
“Kami
sangat mengkhawatirkanmu” ucapku.
“maaf,
semua ini gara garaku”
“Tidak,
aku yang bersalah padamu” ucapku.
Hyung hanya menoleh padaku, terdiam dan menatapku lama sampai akhirnya
ia mengucapkan
“Selamat malam”
Aku
tersenyum tulus dan menatapnya. “Hyung juga”
Kemudian ia berbalik dan memejamkan matanya. Aku menatap langit
langit kamar, dan ikut tertidur. Sampai tengah malam, aku kembali dibuat
terjaga oleh suara bukaan pintu, aku berbalik dan hyung sudah tidak ada
di tempat tidurnya. Namun, kantuk menguasaiku, aku tak kuasa menahan lelap. Aku
pun kembali tertidur. (50)
***
Pagi datang lebih cepat dari yang kuperkirakan. Pagi itu damai sekali. Aku bangun dengan
senyum. Teringat kejadian tengah malam tadi, aku menengok hyung yang ternyata
sudah ada di kasurnya, masih terlelap dengan sangat pulas. (51)
Aku berjalan menuju dapur dan melakukan rutinitasku setiap pagi,
meminum obat. Namun sayang, obat itu terjatuh sebelum aku sempat meminumnya.
Setelah itu Hyung bangun dan kami makan Jajangmyeon sebagai
pengganti sarapan bersama. (52)
Namun
ada yang aneh pagi itu, entah aku yang salah lihat atau ini memang benar
terjadi. “Hyung... Kenapa yang pincang adalah kaki kananmu?” tanyaku
ketika ia beranjak akan pergi ke luar.
“Aku?”
tanyanya.
“iya
barusan”
“maaf
ya.. aku ini lagi terburu-buru, jangan becanda ya” ucapnya kemudian lalu.
Aku memiringkan kepalaku, apa iya aku salah liat?. Tak mau
menghiraukannya aku pun kembali melanjutkan makanku. (53)
Hingga malam tiba, hari ini masih terasa sangat damai, kami makan
bersama, ibu yang mengomeliku untuk tidak hanya memakan daging, kemudian aku
pergi untuk belajar, sampai Hyung yang menggangguku karena tertidur di tengah
belajar. (54)
Namun malam itu, aku tidak kembali tidur. Aku hanya menaruh
kepalaku sebentar di atas meja. Mengistirahatkannya sejenak. Berikutnya, yang kudengar
adalah Hyung yang beranjak dari tempat tidurnya. Berdiri tepat di
sampingku, yang merebahkan kepala di atas meja, berpura pura tidur ketika ia
bangun. (55)
Entah apa yang ia lakukan di sampingku, tapi aku dapat mendengar
suara pensil mekanikku yang dimainkan. Suaranya dekat sekali. Jadi, meski
dengan mata tertutup aku tau ia sedang memainkan pensil itu di dekat wajahku.
(56)
Suara pensil itu berhenti seiring dengan suatu benda tipis dan
panjang jatuh ke atas jemariku yang menjadi penopang kepalaku. Kemudian suara
langkah kaki hyung yang berlalu terdengar, diikuti suara pintu terbuka
dan tertutup. (57)
Aku membuka mataku lalu tanpa pikir panjang mengambil jaket dan
mengikutinya keluar. Aku diam, mengintip di balik gerbang rumah. Sebenarnya apa
yang dilakukan hyung malam-malam begini?. Mau kemana dia?. (58)
Mungkin Hyung merasa curiga, hingga tiba-tiba ia menoleh ke
belakang. Untunglah aku dengan sigap menyembunyikan badanku. Menunggu beberapa
saat, kemudian aku kembali mengintip. Kali ini lebih aneh, dan lebih
mengejutkan. Hyung, kembali berjalan. Namun, dengan dua kaki yang sehat
tanpa pincang sedikit pun. (59)
Ia menghampiri sebuah taksi dan naik ke dalamnya. Kemudian taksi
itu melaju entah kemana. Aku keluar dari persembunyianku dan mencegat sebuah
taksi lain. (60)
“Ahjeossi,
tolong kejar taksi yang di depan itu” ujarku pada si sopir.
“apa?”
“Kejar
taksi itu! Jangan sampai hilang!”
“Baik”
Jalanan malam itu lengang, hanya ada beberapa mobil yang melaju.
Lampu-lampu gedung dan jalanan berpendar bagai kunang-kunang di langit yang
gelap, meminta diperhatikan. Namun, mataku hanya tertuju pada taksi di depan
sana yang ditumpangi Hyung. (61)
Taksi yang ditumpangi Hyung berhenti di sebuah gang, lalu ia
turun dan masuk ke dalam sebuah gang sempit yang kumuh. Masih banyak orang
berlalu-lalang di sana, namun tidak ramai. Hyung berjalan keluar masuk
gang-gang kecil yang diapit toko-toko. Di belakangnya aku mengendap-endap
membuntutinya. (62)
Hingga sampai di sebuah gang yang lebih sempit dan kumuh bahkan dengan
pencahayaan yang minim, aku melihatnya menemui dua orang. Atau lebih tepatnya,
mengahmpiri dua orang. (63)
“Bos,
anda sudah tiba?” ucap salah satu dari mereka.
“Masuk!
Bedebah kalian! Kerja tidak becus!”
Di
tempatku, aku terkesiap, kaget bukan main. Barusan... Hyung yang berucap?.
“maaf
Bos...”
Mereka lanjut membicarakan hal hal yang tidak kumengerti. Aku
mengamati dua orang yang memanggil Hyung dengan sebutan bos. Semakin
dilihat, aku semakin yakin kalau dua orang itu adalah dua polisi yang datang
saat penyelidikan hilangnya Hyung beberapa hari lalu. (63)
Tak lama, Hyung masuk ke dalam bangunan lebih jauh,
meninggalkan dua orang itu berjaga di luar. Dan entah bagaimana aku berhasil
melewati mereka berdua tanpa ketahuan dan bergerak mengikuti hyung.
Menaiki tangga, berbelok pada gang sempit, berjalan lurus, hingga sampai di
tikungan ruang buntu Hyung menghilang tanpa jejak. Tidak ada siapa pun
di sana. Mengernyit heran, aku berbalik, dan sial. Dua orang yang tadi bicara
pada Hyung kini sudah mengahadangku dari pintu keluar. (64)
“Aishhh...
Sial, kenapa sampai ke sini hingga kami jadi serba salah” ucap salah satunya
yang kuingat sebagai polisi pembawa buku notes.
“Ah...
aku pikir di sini ada kesalah pahaman” ucapku berusaha meluruskan keadaan.
“Ahjeossi
satu ini sungguh menjengkelkan” ucap yang satunya.
Kemudian
tanpa tedeng aling-aling mereka bersamaan menyerangku. Beruntunglah aku
berhasil menghindar dan berlari menuju jalan keluar.
“Berhenti
kau!” teriak salah satunya.
Adegan kejar-kejaran yang biasa kulihat di film, kini tak
terelakkan. Aku berlari di sepanjang gang-gang kecil, menjatuhkan tumpukan
barang-barang untuk memperlambat mereka. Sampai akhirnya aku berhasil lolos
dengan bersembunyi di sebuah celah kecil yang tertutupi bayang-bayang. (65)
“Hei,
Coba kau cek sebelah sana! Aku akan cek sebelah situ!” kemudian langkah kaki
menjauh terdengar.
Aku menghembuskan napas lega lalu berbalik untuk memeriksa apakah
mereka benar-benar sudah pergi. Namun tiba-tiba semua berubah hitam. (66)
***
Aku terbangun ketika cahaya matahari dari jendela menyerobok masuk.
Aku di kamarku? aku ketiduran di meja belajar?. (67)
“Ada
apa? Kau sudah bangun?”
Aku terlonjak kaget. Dan menoleh. Hyung berbaring di tempat
tidurnya, memandangku heran. (68)
“Ada
apa? kenapa begitu?” ia bangun. Memandangku lekat dari tempat tidurnya.
Aku
meneguk ludah. Terbayang jelas yang terjadi semalam.
“A-apanya?”
jawabku pelan. Sial kenapa aku harus gagap.
“Kenapa
begitu kaget? Ada sesuatu yang terjadi?”
Aku
menggeleng. “Tti-tidak apa-apa” kemudian beranjak pergi menuju kamar mandi. Dan
mengunci pintu kamar mandi. Agar Hyung tak bisa masuk.
“JinSeok!
Kau tidak apa-apa? Ada apa?”
Aku
terperanjat kaget.
“Jin
Seok! Buka dulu dong pintunya! Buka dulu pintunya!”
“ENYAHH”
teriakku.
“oke
oke, aku mengerti. Aku cuma mau tanya kenapa kau mendadak jadi seperti ini”
Aku
menarik napas.
“Semalam...
Aku membuntutimu keluar rumah”
“membuntutiku
keluar rumah? Ke mana? Kau kan ttahu, semalam begitu sampai di rumah aku
langsung tidur”
“Aku
sudah lihat semuanya! Bilang! Siapa pria pria itu? Mereka bukan polisi kan?”
“Siapa?
Polisi mana yang kau maksud?”
“PRIA-PRIA
YANG MENGEJARKU SEMALAM!”
“Jin
Seok... jangan-jangan kau bermimpi yang aneh-aneh lagi”
“DIAMM!!!
Mimpi katamu? Tidak! Sangat jelas sekali! Kau kira aku sudah terlelap kan? Ku
bahkan dengar suara pensil yang kau mainkan! DIMANA HYUNGKUU?!! Apa yang telah
kau perbuat pada Hyungku?! KATAKAN!!!”
Hening. Tak ada jawaban darinya. Aku mengambil sebuah pipa dan
membuka pintu kamar mandi secara perlahan. Ia tak ada di depan pintu. Aku
menoleh ke sana kemari dengan perasaan was-was. Sampai tiba-tiba ia menerjangku
dan merebut pipa itu dariku. Ia dengan mudahnya menjatuhkanku dan mengunci
semua pergerakanku. (69)
“PERGI
SIALAN!!!” teriakku tepat di wajahnya.
“Jinseok!
Tenangkan dirimu!”
“JANGAN
MACAM-MACAM KAU!!!”
“Jin
Seok! Aku sama sekali tidak pergi ke mana-mana semalam! Pensil , Taksi yang kau
tumpangi, dan pria-pria itu, itu semua tidak nyata!”
“Lalu
apa?! Ingatanku begitu jelas!”
“itu
karena obat! JinSeok! Kau tidak meminum obat mu kan kemarin?”
Dan
ingatan hari kemarin, dimana obat itu jatuh pun terekam. Obat sialan.
***
Hyung menemaniku
minum obat. Ia menepuk pundakku dua kali, kemudian ia beranjak pergi. (70)
“Hyung
maaf” ucapku
Ia
menoleh dan tersenyum.
“sebentar
lagi Eomma pulang. Beristirahatlah”
Kemudian ia pergi. Aku mengintip melalui celah jendela sampai Hyung
melintasi jalanan depan rumahku. Tidak ada yang aneh. Ia masih pincang
berjalan. Aku mendudukkan diriku di kursi meja belajar. Sepertinya benar ini
karena obatku. Sampai aku menemukan pensil mekanik ku yang jatuh ke bawah meja
belajar. Dan mataku tertuju pada isi pensilnya yang tergeletak. Memungutnya,
aku memandang isi pensil itu lekat-lekat. Dan ucapan Hyung tadi
terngiang kembali dalam otakku. (71)
“...
Pensil, Taksi yang kau tumpangi, dan pria-pria itu semuanya tidak nyata!”
Taksi?
“Tapi,
aku tidak pernah bilang aku naik taksi”
“Jin
Seok! Eomma pulang!!!”
Aku
bergegas turun ke bawah dan menghampiri ibu yang sedang membuka coatnya.
“Eomma!”
“Hmm?
Ada apa Jin Seok?”
Aku menariknya menuju meja makan, kemudian menceritakan semuanya
pada ibu. Ibu terlihat kaget dan tidak percaya. (72)
“Jin
Seok, abeojimu harus tau” ucapnya.
Aku meraih
tangannya yang gemetar memegang gelas.
“tidak,
tidak eomma, kalau malam ini ia keluar lagi. Kita bangunkan abeoji
dan sama sama menyusulnya”
“Jin
Seok... apa benar Hyungmu melakukan itu?” ia menatapku dengan sorot mata
kecewa yang kentara.
“Tidak
Eomma... itu bukan Hyung”
***
Malam itu, aku kembali terbangun dengan mimpi buruk yang
membayangi. Kali ini, aku bermimpi memasuki kamar seberang dengan sebuah
tongkat baseball di tangan untuk berjaga-jaga. Awalnya tidak ada yang aneh,
hanya lemari-lemari berdebu yang tertutupi plastik, sampai aku menemukan mayat Hyung
yang tergantung di langit-langit kamar. Kemudian aku terbangun dan menyadari
semua itu hanya mimpi. Di tempat tidur sampingku, Hyung tidak ada. (73)
Di luar hujan deras mengguyur. Aku beranjak dari tempat tidur
menuju dapur. Meminum segelas air, setidaknya untuk menetralisir ketakutanku.
Lalu kembali beranjak menuju kamar untuk melanjutkan tidur. Tapi sebuah
percakapan kecil di kamar ayah dan ibu membuatku berhenti. (74)
“Sepertinya
anak itu sudah tau semuanya” itu suara ibu. Dia sedang mengobrol dengan
seseorang di telepon.
“Iya”
“Tadi
dia benar-benar bilang seperti itu padaku, dia bilang Hyung bukanlah yang
sebenarnya”
“Dia
juga menceritakan kejadian yang dilihatnya kemarin saat menguntit ke sana”
“Kaki
tidak pincang, polisi juga bukan polisi”
“Setelah
itu dia dikejar-kejar. Tapi begitu terbangun dia sudah di kamar. Dia bialang
begitu”
“Serius,
dia benar bilang seperti itu padaku”
Aku
terhenyak. Apa maksudnya ini?.
Aku
diam diam berjalan mundur.
Krek...
Sial kenapa aku harus menginjak pulpen di saat seperti ini. Di
dalam kamar ibu terlihat was was. Ia beranjak berdiri. (75)
“Siapa
di sana?”
“Jin
Seok ya?”
Beruntung, aku berhasil keluar lewat pintu belakang sebelum ibu
menemukanku dan bersembunyi di balik pintu. Ibu membuka pintu, namun ia tidak
menyadari kehadiranku di balik pintu, kemudian ia menutupnya kembali. (76)
“Bukan,
sepertinya aku mendengar suara”
“Jangan-jangan
dia turun ke bawah?”
“Sekarang
dia lagi tertidur pulas”
“Barusan
sudah aku cek!. Aishh... baik, aku coba cek kamarnya”
Mendengar hal itu, aku segera mencari jalan untuk masuk. Tidak
mungkin aku masuk lewat pintu. Aku menatap ke atas, ke arah jendela kamarku.
Dan memutuskan untuk memanjat naik. Licin. Hujan yang lebat membuat tembok
menjadi licin. Berkali kali aku tergelincir. Namun beruntung akhirnya aku dapat
masuk ke kamar sebelum ibu. (77)
Aku melompat masuk ke tempat tidur, bersembunyi di balik selimut
dan berpura pura tidur. Sampai selimut yang kugunakkan menutupi kepalaku
disibakkan kemudia suara langkah kaki menjauh dan pintu tertutup, barulah aku
bisa bernapas lega. Aku menyibakkan selimut dari tubuhku yang basah karena air
hujan. (78)
“kau
baru bangun ya?”
Aku menegang ketika mendengar suara itu. Disana, tepat di pintu
masuk, ibu berdiri sambil bersilang tangan. Ia melirik jendelaku yang terbuka,
kemudian menatapku kembali. (79)
“peluhmu...
begitu banyak. Banyak sekali peluh”
Ia
tersenyum yang dalam pandanganku jadi begitu menyeramkan, kemudian berbalik
pergi meninggalkanku sendirian.
***
“Argghh..
pftt” Jin Seok menutup mulutnya ketika erang kesakitan lolos dari bibirnya
karena terjatuh dari pipa yang menjadi tempat pijakannya.
Ia kembali keluar melalui jendela kamarnya. Saat ini, yang ada di
pikirannya hanya keluar secepatnya dari rumah ini. Tanpa memedulikan kakinya,
ia berlari menuju pintu keluar. Bersandar pada dinding gerbang sebentar,
kemudian tertatih tatih berjalan. (80)
“Jin
Seok-ie, mau ke mana?”
Jin
Seok menatap lesu pria di depannya.
“Abeoji”
“Mau
ke mana?” tanyanya lagi.
“aku
mau ketemuan dengan teman” jawab Jin Seok
“Ah,
begitu rupanya”
“Siapa
temanmu?” suara seorang wanita yang sedari tadi di hindarinya terdengar.
Jin Seok menoleh kaget. Ibunya sudah berdiri di depan gerbang
sambil memegang payung. Seorang pria dengan jaket hitam juga sudah mengepung
Jin Seok dibelakang. (81)
“Mau
ketemuan sama teman yang mana?”
“Anda
tidak kenal, aku cuma sebentar kok!” jawab Jin Seok.
“Jin
Seok... tidak boleh sama sekali” pria yang di sebut Jin Seok sebagai ayahnya
menjawab sambil tersenyum.
“ayo
masuklah ke dalam dan ngobrol sebentar denganku” ia menghampiri Jin Seok dan
merentangkan tangannya, mengajaknya masuk.
Jin
seok menghindar.
“Kubilang
masuk ke dalam” ucap pria itu mutlak.
Jin
Seok dengan sigap mendorong pria itu hingga membentur tembok, lalu berlari
pergi.
“Tangkap
dia!” perintah wanita itu pada para pria itu, yang kemudian langsung mengejar
Jin Seok.
“Jangan
sampai dia lolos!”
Jin Seok berlari sekuat tenaga, bahkan hingga terpeleset di
tikungan yang licin. Namun, ia kembali berlari di antara gang-gang kecil dan
toko-toko yang sedang tutup. Sampai ia melihat pos polisi yang di ujung jalan.
Ia berlari sekuat tenaga namun pria yang mengejarnya itu berhasil menangkap
bahunya kemudian mendorong Jin Seok hingga jatuh. Jin Seok meraung kesakitan.
Di depannnya pria itu tersenyum menang sambil menghampirinya. Jin Seok hanya
bisa pasrah, sebelum tiba-tiba sebuah motor pengantar makanan hilang kendali
dan menabrak tubuh pria yang mengejarnya. (82)
Melihat kesempatan itu Jin Seok tertatih-tatih berdiri. Dan berjalan
menuju kantor polisi. Tiba-tiba sebuah mobil polisi hampir menghantam badannya.
Namun, beruntung polisi yang mengendarainya berhasil menginjak pedal rem. Jin
Seok bersimpuh di atas kap mobil dan menatap kedua polisi di dalamnya. (83)
“Tolong
aku, kumohon tolong aku”
Melihat itu, si pria yang mengejar berbalik pergi dan kabur dari
sana. Di dalam kantor polisi, kakinya yang telanjang di berikan sepasang
sendal, ia juga di berikan selimut dan secangkir teh. Di sudut ruang satunya,
seorang polisi sedang menginterogasi tiga pemuda yang terlihat masih sangat
muda. Seorang polisi akhirnya kembali datang ke hadapannya, dan duduk dengan
sebuah buku catatan di tangannya. (81)
“Biar
ku perjelas. Seperti ini kan?”
“Ada
sekelompok orang yang telah mengurungmu lebih dari sebulan dan kejadian barusan
adalah bagian dari aksi melarikan diri”
Seorang
polisi lagi datang berdiri di belakang polisi yang duduk, ikut memperhatikan.
“Iya
betul” ujar Jin Seok
“tempatmu
di kurung adalah lantai dua. Mereka berpura pura menjadi keluargamu sehingga
kau terpedaya”
“Betul
seperti itu”
“Dengan
kata lain mereka adalah anggota keluarga anda?” tanya si polisi lagi.
“Benar,
benar kata anda”
“Tapi
kenapa bisa tertipu? Bukan berarti berpura-pura menjadi keluargamu terus akan
tertipu” sela polisi yang berdiri di belakang, ikut masuk dalam pembicaraan.
“itu,
aku juga tidak mengerti bagian ini. Aku.. kenapa aku bisa sampai tertipu...
itu... “
Polisi di depannya mengangguk mengerti. Lalu menoleh pada rekannya
yang lain, yang dari tadi menyibukkan diri di depan komputernya. (82)
“Baiklah.
Identitasnya sudah berhasil diketahui?”
“Ya
barusan sudah di kettahui” jawab rekannya.
“apa
saja yang ada di sana?”
Rekannya
memberikan sebuah kertas itu pada polisi yang berdiri. Lalu polisi itu
membacanya.
“Nomor
KTP 770427 1666177, benar?”
“Iya
benar itu aku”
“Tidak
ada laporan hilang, juga tidak ada cataatan kriminal. Tidak ada yang abnormal”
“kelahiran
tahun ’77, berarti sekarang umurmu 41 tahun?” tanyanya lagi.
Jin
Seok mengernyit.
“maaf?
Umurku baru 21”
Polisi
di depannya, terlihat hampir tertawa.
“Ahjeossi,
ini tahun berapa? Kelahiran tahu ’77 mana mungkin umur 21?”
“eh?
Karena kelahiran ’77 makanya masih umur 21”
Polisi
di depannya menunduk berusaha menahan tawanya
“Ahjeossi,
coba perhatikan kalender di sana. Coba dibaca!”
Ia
menunjuk kalender itu. Jin Seok mengikuti arah tunjuknya.
“Tahun
ini adalah tahun 2017”
Jin Seok terperangah bingung. Ia menoleh dan ketiga pemuda itu
sedang memvideonya dengan ponsel yang lebih canggih dari yang dimilikinya. (83)
“Aigoo..
Ahjeossi ini masalah besar”
Jin
Seok berdiri dan menghampiri kalender itu.
Seseorang
berteriak pada yang lainnya.
“Coba
nyalakan TV. Saatnya berita nih”
TV menyala, menyiarkan sebuah berita tentang presiden korea bersama
presiden Trump. Jin Seok terperangah, ia tidak mengerti apa yang sedaqng
terjadi. Ia baru menyadari semuanya telah berubah. (84)
Ia menatap cermin yang terpajang pada dinding. Menatap bayangan
dirinya di sana. Bayangan seorang pria paruh baya yang acak acakan dan tidak
terurus dengan pipi yang tirus. Ia menyentuh wajahnya tidak percaya dengan apa
yang dilihatnya. Kepalanya kini di penuhi banyak tanda tanya tak terjawab. Tanpa
ia sadari, ia keluar dari kantor polisi dan berjalan menuju rumahnya. Memasuki
pintu gerbang dan pintu depan yang lengang. Tak ada siapa pun disana.
Perasaannya mengatakan ia akan mendapatkan jawabannya di rumah ini. (85)
“Keluar!!
Keluar dan bicara denganku!!!”
Sebuah musik tiba tiba berputar. Menggema hingga lantai bawah.
Asalnya dari atas. Jin Seok menginjakkan kakinya di tangga. Terus naik, sampai
bertemu dengan kamar di seberang kamarnya. Musik itu berasal dari sana. Pintu
itu terbuka sedikit. Dari celah pintu itu terpancar cahaya terang. Seolah
meminta Jin Seok memasuki kamar itu. (86)
Jin Seok menghampiri kamar itu. Itu seperti kamar perempuan biasa.
Hanya saja lantai dan perabotannya di baluri cairan semerah darah. Atau memang
darah? Di lantai, sebuah manekin gadis remaja bergaun tidur putih dan
bersweater abu-abu terbaring. Juga dengan cairan merah itu berbalur di
tubuhnya. Seolah olah ia habis terbunuh dan cairan ini semua berasal darinya.
Di sampingnya bahkan ada sebilah pisau yang juga berbalur cairan merah itu. (87)
Jin Seok tak bisa berkata-kata. Ia masuk lebih dalam. Di dalam, ada
sebuah manekin dengan kondisi yang sama dengan manekin si gadis. Namun yang ini
adalah manekin wanita dewasa. (88)
“ini...
ini..” gumam Jin Seok linglung.
“Masih
belum berhasil ya?”
Jin Seok menoleh. Itu pria yang menyamar jadi hyungnya,
datang bersama ayah dan ibu palsunya.
Pria itu berjalan masuk, mematikan tape recorder yang masih memutar
musik, lalu menatap Jin Seok. (89)
“Kalian
ini siapa?” tanya Jin Seok.
“Hal
yang ingin kau ketahui hanya ini? Selain ini hal yang kau ketahui pasti banyak”
jawabnya.
“Katakan!
Apa yang telah kau lakukan terhadapku”
Pria
itu melengos lalu menyalakan rokoknya.
“Dua
puluh tahun yang lalu. Tanggal 20 Desember 1997... terjadi sebuah kasus di
perumahan di pinggiran kota Seoul, di mana seluruh anggota keluarga dibunuh. Di
rumah di mana kakimu sedang berpijak sekarang ini.”
***
Di dalam sebuah kamar, ibu beserta anak perempuannya dibunuh secara
brutal dengan senjata tajam. Di tengah kemarahan dan keresahan masyarakat,
terbentuklah tim penyidik khusus. Kasus yang menggemparkan seluruh kota, pada
akhirnya polisi gagal menangkap pelakunya. (90)
Setahun, dua tahun... waktu pun berlalu begitu saja. Dan kasus ini
secara perlahan-lahan dilupakan orang orang. Tenggang kadaluwarsa pununtuta pun
telah berakhir dan orang-orang telah melupakan peristiwa ini. (91)
Tapi, keluarga korban yang ditinggalkan masih belum bisa
melupakannya. Mereka membayar orang untuk menginvestigasi ulang kasus ini.
Sebulan, du bulan berlalu hingga musim pun berganti. Empat tahun sudah waktu
berlalu. Suatu hari di musim semi... akhirnya pelakunya berhasil di temukan. (92)
***
Kini mimpi-mimpi buruk Jin Seok menyatu menjadi satu. Ia ingat
sekarang. Dan itu bukanlah mimpi. Itu benar terjadi. Hari-hari dimana ia
disekap dan disiksa, dengan darahnya yang mengalir dari seluruh badanya. Dengan
pria ini berdiri di depannya. Namun ia mengelak. Tidak mungkin dirinya
melakukan semua hal itu. (93)
“Jadi
pembunuh itu adalah aku?” tanya Jin Seok
“Betul!
Kau”
“Bukan.
Tidak mungkin aku melakukan hal itu. Yang lain-lain tidak usah dibahas tapi aku
tidak pernah membunuh orang”
“Susah
payah kau kami ringkus dan sekarang kau mau mengelak? Dasar keparat! Sudah
jelas kau pelakunya”
***
Tapi kenapa makin dilihat makin buka dia. Bukankah manusia punya
insting? Sepertinya dia tidak sedang berbohong. Begitu keluarga korban
mengetahu hal ini, mereka merasa limbung karena suasana berubah menjadi sangat
aneh. (94)
Musuh yang menghabisi keluarga mereka akhirnya berhasil ditemukan.
Setelah ditemukan, dendam harus dibalas. Tapi dia malah tidak ingat apa-apa. Kenapa
berbuat seperti itu?. Perbuatan satu orang kah? Atau ada komplotannya? Atau
atas perintah seseorang? Penjahat yang tidak ingat akan kejahatannya tidak bisa
dibunuh begitu saja. Jadi kami mengundang seorang pakar. Pakar hipnotis yang
sebelumnya bekerja untuk pihak kepolisian. (95)
“Saya
adalah Park Seong Tae”
“Andaikan
garis ini adalah hidup Song Jin Seok, di sini adalah periode masa kanak-kanak,
10 tahun, 20 tahun, 30 tahun, dan 40 tahun. Seperti ini pembagiannya”
“Di
periode ini, Seong Jin Seok mengalami masa-masa tersulit dia menghilangkan
potongan ingatan tersebut. Demi mencari kembali potongan ingatan yang hilang
itu dia di hipnotis dan beberapa upaya dilakukan”
“Tapi
pertahanan psikologis pada dasarnya memang sangat kuat. Karena itulah tidak
berhasil”
Perkiraan kami tidak salah. Dia benar-benar tidak ingat. Amnesia yang
bersifat disosiatif. Potongan ingatan yang sangat menyakitkan itu dihapus
olehnya dari ingatannya. (96)
“Dengan
kata lain, sebelum Song Jin Seok terlibat dalam kasus ini. Harus kembali ke
periode sebelum dia terpuruk dalam penderitaan”
“Periode
di mana ia merasa bahagia?”
“Betul,
harus kembali ke masa tanggal sebelum 1997 bulan Mei tanggal 6”
“dan
juga, ini obat barbital yang merupakan obat penginduksi hipnosis. Dia harus di
berikan obat ini”
“Bos
kami yang hebat ini, masih membutuhkan bantuan seorang madam tua sepertiku?”
“Dulu
kau pernah belajar akting kan?”
“Kalau
disuruh berakting tentu tidak sesusah itu.”
“Pertama-tama
dia akan dihipnotis dan akan berpikir jika dia sedang menikmati pemandangan
sambil naik kerata api”
“Naik
kereta api tentu akan melewati terowongan. Setiap melewati terowongan waktu
akan berputar mundur satu tahun dan kembali ke masa lalunya yang bahagia. Harus
memberikan sugesti itu kepadanya”
“Terus,
bagaimana caranya?”
“Perhatikan
aku”
Pakar
hipnotis itu membisikkan kata-kata pada Jin Seok.
“Nah,
waktunya untuk masuk ke terowongan pertama”
“Kemudian,
keluar dari terowongan. Sekarang tahun berapa?”
Tak
ada jawaban.
“Sekarang
ini tahu berapa?”
“Aku
akan bertanya sekali lagi padamu. Sekarang ini tahun berapa?”
“Tahun
1-9-9-7” jawabnya lemah
“Berapa
umurmu?”
“Umur
21 tahun”
“Bagus,
sekarang kau lagi ada di mana?”
“Di
mobil”
“Di
mobil? Dengan siapa? “
“Dengan
Eomma, Abeoji, dan Hyung. Sedang dalam perjalanan menuju rumah baru”
“Sedang
apa kau di mobil?”
“Sedang
tidur sambil bersandar pada Eomma”
“Kau
tidurlah dulu yang nyenyak. Pada saat aku membangunkanmu nanti. Kau harus
terbangun dari mimpimu ya?”
“Baik”
“Bahkan
sekalipun kau terbangun dari mimpimu. Umurmu adalah 21 tahun dan tahunnya
adalah 1997. Dan orang orang yang duduk dalam mobil adalah abeoji, eomonim, dan
juga Hyung”
“Sekarang
begitu aku menghitung satu dua tiga kau akan terjaga dari mimpimu”
Ia pasti merasa tidak asing dengan rumah ini. Lumrah bagi seorang
pembunuh untuk merasa tidak asing berdiri di depan rumah 20 tahun sebelum dia
melakukan aksi pembnuhan. (97)
Supaya pembunuh bisa menemukan kembali ingatannya yang hilang di
malam berhujan, TKP harus direkayasa ulang. 20 tahun yang lalu, musik yang
diputar di tempat pembunuhan terjadi juga sudah direncanakan. Sisanya adalah
memancing pembunuh tersebut masuk ke suasana yang sama persis dengan hari itu.
Tapi terjadi variabel yang tidak terduga. (98)
“Polisi!”
“Anda
kami tahan atas dugaan kekerasan dan penipuan”
Bertepatan dengan saat itu, polisi-polisi keparat itu berhasil
menemukanku dan menangkapku. Setelah ditangkap polisi semua rencana hampir saja
gagal. Tapi yang sangat disyukuri adalah kau berhasil menghindari situasi ini. (99)
Ditambah menggunakan uang menelusuri background seseorang, selang
19 hari aakhirnya aku dibebaskan. Kemudian harus kembali ke sana dan mulai
merencanakan. Hari-hari penantian hujan turun. Kau yang secara perlahan-lahan
berhasil menghilangkan sugesti mulai menunjukan rasa curiga. Pada akhirnya
sampai di tempat ini. (100)
***
“Sudah mengerti sekarang? Kenapa kami berbuat
seperti ini, kenapa kau harus terpuruk sampai sedemikian”
“Kenapa?”
Tanya Jin Seok. Mereka berada di dalam mobil, entah menuju ke mana.
“Kau
merasa aku sedang berbohong?”
“Tidak,
sepertinya semuanya adalah fakta. Kecuali satu hal” ucap Jin Seok.
“Satu
hal apa itu?”
“Bukan
aku. Aku tidak pernah membunuh orang”
Pria
di hadapannya ini memelototinya.
“Dasar
kau sialan! Kau telah membunuh orang dan kau juga akan mati. Kau akan
meninggalkan dunia ini dengan cara paling mengenaskan mengerti?”
Jin Seok hanya tersenyum. Kemudian tanpa tedeng
aling-aling membuka pintu mobil itu kemudian melompat ke bahu jalan. Suara klakson panjang sebuah
mobil menjadi satu-satunya hal terakhir yang ia dengar, sebelum semuanya
berubah hitam. (101)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar