Rabu, 02 Oktober 2019

Sudah Jatuh Tertimpa Tangga, Benarkah RUU KUHP Kriminalisasi Wanita?

(Cr. Google)

Selasa, 24 September 2019. Gedung DPR diserbu oleh ribuan mahasiswa dari berbagai Universitas. Tidak hanya gedung DPR, namun juga gedung DPRD di berbagai kota.

Mahasiswa tumpah ruah ke jalan menuntut elit pejabat agar mendengar aspirasi rakyat. Mereka menyuarakan penolakan dan protes keras terhadap Rancangan Undang Undang (RUU)  Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP) yang dinilai tidak pro rakyat, memberatkan, bahkan ‘ngawur’.

Setidaknya ada sebelas Rancangan Undang Undang yang dianggap cukup kontradiktif dengan keadaan saat ini dan menuai banyak kontroversi dan polemik hingga memicu aksi demonstrasi dari berbagai pihak. Dan salah satunya adalah Pasal yang terkait dengan Aborsi.

Pasal ini tercantum pada RUU KUHP Pasal 470 Ayat (1) yang berbunyi, "Setiap perempuan yang menggugurkan atau mematikan kandungannya atau meminta orang lain menggugurkan atau mematikan kandungan tersebut dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun,". Dan juga Pasal 471 ayat (1), "Setiap orang yang menggugurkan atau mematikan kandungan seorang perempuan dengan persetujuannya dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun."

Pasal ini menjadi kontroversial karena menyebutkan “setiap perempuan” yang berarti semua wanita hamil yang melakukan aborsi tanpa pengecualian.

Pada dasarnya Indonesia memang melarang pemberlakuan aborsi, hal tersebut telah diatur dalam UU No. 36 tahun 2009 tentang kesehatan. Pasal 346 “Seorang wanita yang sengaja menggugurkan atau mematikan kandungannya atau menyuruh orang lain untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun”. Pasal 347 (1) Barang siapa dengan sengaja menggugurkan atau mematikan kandungan seorang wanita tanpa persetujuannya, diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun. (2) Jika perbuatan itu mengakibatkan matinya wanita tersebut, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun. Pasal 348 (1) Barang siapa dengan sengaja menggugurkan atau mematikan kandungan seorang wanita dengan persetujuannya, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun enam bulan. (2) Jika perbuatan itu mengakibatkan matinya wanita tersebut, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.

Hal ini juga berlaku untuk para dokter dan tenaga medis yang membantu berjalannya praktek aborsi. Pasal 349, Jika seorang dokter, bidan atau juru obat membantu melakukan kejahatan berdasarkan pasal 346, ataupun melakukan atau membantu melakukan salah satu kejahatan yang diterangkan dalam pasal 347 dan 348, maka pidana yang ditentukan dalam pasal itu dapat ditambah dengan sepertiga dan dapat dicabut hak untuk menjalankan pencarian dalam mana kejahatan dilakukan.

 Namun, dalam Undang Undang tersebut pada Pasal 75 jelas disebutkan terdapat pengecualian bagi korban pemerkosaan dan dengan alasan medis yang membahayakan. (1) Setiap orang dilarang melakukan aborsi. (2) Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan berdasarkan: a. indikasi kedaruratan medis yang dideteksi sejak usia dini kehamilan, baik yang mengancam nyawa ibu dan/atau janin, yang menderita penyakit genetik berat dan/atau cacat bawaan, maupun yang tidak dapat diperbaiki sehingga menyulitkan bayi tersebut hidup di luar kandungan; atau b. kehamilan akibat perkosaan yang dapat menyebabkan trauma psikologis bagi korban perkosaan. (3) Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya dapat dilakukan setelah melalui konseling dan/atau penasehatan pra tindakan dan diakhiri dengan konseling pasca tindakan yang dilakukan oleh konselor yang kompeten dan berwenang. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai indikasi kedaruratan medis dan perkosaan, sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah

Pengecualian dan pelegalan aborsi ini juga tercantum pada Pasal 31 Pengesahan Peraturan Pemerintah (PP) nomor 61 tahun 2014 tentang Kesehatan Produksi, yang berisi, “(1) Tindakan aborsi hanya dapat dilakukan berdasarkan: a. indikasi kedaruratan medis; atau b. kehamilan akibat perkosaan. (2) Tindakan aborsi akibat perkosaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b hanya dapat dilakukan apabila usia kehamilan paling lama berusia 40 (empat puluh) hari dihitung sejak hari pertama haid terakhir”

Pasal ini tentunya bertolak belakang dengan Rancangan Undang Undang baru yang dengan gamblang menyatakan ‘setiap perempuan’. Yang tentunya akan sangat berefek bagi para perempuan. Khususnya korban pemerkosaan dan wanita hamil dengan janin yang membahayakan.    

"Kita sudah punya UU kesehatan yang baik, ditambah peraturan menterinya. Dan kemudian ada Peraturan Pemerintah (PP) 2016 khusus untuk layanan aborsi bagi kasus perkosaan. Jadi itu sebenarnya bukan urusan pidana," ungkap Atashendartini Habsjah selaku pendiri dan peneliti Yayasan Kesehatan Perempuan (YKP) kepada Suara.com , Senin (23/9/2019).

Hal ini juga dituturkan oleh ketua Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (KomNas Perempuan) kepada Beritagar.id , “Pasal 470 RUU KUHP tidak sinkron dengan UU Kesehatan dan komitmen SDGs (Sustainable Development Goals) untuk menurunkan angka kematian ibu akibat kehamilan. Perlu ada sinkronisasi," (20/9/2019).

Bayangkan bila seorang perempuan dalam kondisi hamil, namun kemudian janin yang dikandungnya ternyata malah berdampak pada kematian bagi sang ibu dan anak. Dan jalan keluar terakhir yang dapat dilakukan agar sang ibu tetap hidup adalah hanya dengan menggugurkan kandungannya, lantas bagaimana? .

Si ibu harus rela kehilangan anak yang dikandungnya dan juga harus terjerat hukum dengan keadaan masih down pasca aborsi, ibarat sudah jatuh tertimpa tangga.

Dan bukan tidak mungkin hal ini bisa menjadi pemicu depresi bagi sang ibu yang jika dibiarkan akan berdampak buruk pada kesehatan mentalnya. Itu jika si ibu memilih menggugurkan kandungannya. Jika tidak, maka bertambahlah angka kematian ibu melahirkan di Indonesia.

Mengenai hal ini, dilansir dalam Beritagar.id , Data Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia menunjukkan jumlah Angka Kematian Ibu (AKI) tahun 2015 yakni 305 kasus per 100.000 kelahiran hidup atau menurun 17,7 persen dibandingkan tahun 2012.

Merujuk historinya, penurunan juga terlihat dari 1990 hingga 2007, yang kemudian melonjak drastis 36,5 persen pada tahun 2012, sejumlah 359 kasus per 100.000 kelahiran hidup.

Angka Kematian Ibu (AKI) diukur dari banyaknya kematian perempuan pada saat hamil atau selama 42 hari sejak terminasi kehamilan tanpa memandang lama dan tempat persalinan.
Selain kematian ibu hamil dikarenakan alasan medis sebagai penyumbang AKI, Azriyana juga mengatakan, “Unwanted Pregnancy menyumbang 70 persen angka kematian ibu”
Unwanted pregnancy atau kehamilan yang tidak diinginkan menjadi penyumbang terbanyak Angka Kematian Ibu. Maraknya kasus pelecehan seksual di bawah umur dan pemerkosaan wanita sudah pasti menjadi salah satu alasan tingginya persentase kematian dikarenakan kehamilan yang tidak diinginkan.
Dikutip dari BBC Indonesia, seperti kasus seorang remaja berusia 16 tahun di Padang, Sumatera Barat yang menjadi korban pemerkosaan oleh tujuh orang laki laki.

Remaja itu disebut telah diperkosa berkali kali dari Februari hingga April. Korban, yang dilaporkan tengah mengalami trauma berat itu, kini tengah mengandung lima bulan. "Dia tidak sekolah lagi, sudah berhenti. Dia mengundurkan diri karena hamilnya sudah kelihatan," ujar Kasat Reskrim Polres Padang Pariaman, AKP Lija Nesmon.

Remaja ini tidak bisa menggugurkan kandungannya karena usia kehamilannya yang telah lebih dari enam minggu dan terbentur dengan Undang Undang kesehatan yang tidak memperbolehkan kehamilan usia enam minggu untuk di gugurkan. Dan ini diperparah pula dengan adanya RUU KUHP yang melarang wanita untuk menggugurkan kandungannya.

Dalam kasus ini, si remaja mengalami trauma, putus sekolah, dan harus berjuang melahirkan dengan keadaan mental tertekan tanpa seorang suami dan sosok ayah bagi anaknya. Belum lagi rasa malu yang harus ditanggung olehnya. Ini akan menjadi luka dan juga kotak pandora bagi si remaja hingga ia dewasa. Ia tentu pasti ingin menghapus ingatan tentang kejadian itu. Dan jika hal ini tidak di tangani dengan benar dapat menimbulkan dampak negatif di kemudian hari.  

Ini hanya satu dari sekian banyak kasus serupa yang melibatkan anak di bawah umur. Anak anak yang seharusnya dapat belajar dan bermain sesuai haknya. Malah digunakan sebagai pelampias hawa nafsu oleh oknum oknum tidak bertanggung jawab. Dan sebagai korban, anak anak ini berhak kembali melanjutkan hidup normalnya dengan mengaborsi janin yang tidak di inginkan tersebut. Agar mereka bisa terus bersekolah dan tidak terbebani tittle sebagai seorang ibu. Apalagi dengan mental dan raga yang belum sepenuhnya siap menjadi seorang ibu.

Hal ini juga berlaku bagi korban pemerkosaan yang telah dewasa, mereka seharusnya bisa bebas tanpa menanggung trauma dan luka dari masa lalu mereka. Karena jika para korban mengalami trauma berat dan tidak mendapatkan penanganan yang tepat lalu memilih membesarkan anak dalam kandungannya dikarenakan Undang Undang bukan tidak mungkin nantinya si anak akan mendapat perlakuan kekerasan dari sang ibu sebagai ganti balas dendam masa lalunya. Hal ini nantinya akan menambah daftar panjang kasus kekerasan orang tua terhadap anak.

Seperti dikutip dari Beritagar.id. Azriana, ketua KomNas Perempuan, mengatakan "Pasal 467 tentang perampasan nyawa terhadap anak yang baru dilahirkan (infantisida) diskriminatif terhadap perempuan karena mengasumsikan hanya ibu yang takut kelahiran anak diketahui oleh orang (dalam konteks kelahiran anak di luar nikah),"

Realitanya, Komnas menilai laki-laki yang menyebabkan kehamilan juga ketakutan. Alhasil, pasal ini "diskriminatif dan korban kriminalisasi adalah perempuan."

Tidak ada pilihan yang terbaik. Melakukan aborsi sama saja menjebloskan diri ke dalam penjara. Namun jika membiarkan si janin hidup, kita tidak tahu apa yang akan terjadi ke depannya pada si anak. Tidak ada yang menjamin.

Memang tingkat trauma setiap orang berbeda beda, tidak semuanya sama. Ada yang bisa dengan cepat pulih dan menjadikan apa yang dialaminya sebagai pembelajaran agar kedepannya tidak ada lagi korban yang jatuh, dan ada juga orang yang susah terlepas dari traumanya. Mau bagaimanapun mereka tetap sama sama korban. Dimana keadilan bagi korban ketika dia memilih untuk pulih dari traumanya dan berusaha bangkit dengan melupakan, malah harus berurusan dengan hukum. Dimana keadilan ketika hukum saja tidak berpihak pada korban dan malah menjerat korbannya dengan  4 tahun penjara?.

Seperti dilansir dalam Suara.com. Kasandra Putranto, seorang psikolog klinis menilai, adanya inkonsistensi dan berpotensi mengancam perempuan korban pemerkosaan.

"Bukan cuma perempuannya (yang terancam), juga yang menyarankannya," tuturnya saat dihubungi Suara.com, Jumat (20/9/2019).

Ia menambahkan, hal ini juga dapat menimbulkan dampak psikologis korban pemerkosaan  jika ikut terjerat dalam pasal tersebut.

"Akan mengalami kekerasan ganda, trauma ganda," lanjutnya.

Harusnya hukum dapat memihak kepada korban. Tidak malah ikut menjerat korban dengan pasal. Dan yang harusnya di berantas adalah para pelaku kejahatan bukan korban kejahatan.  

"Seperti yang saya katakan UU masa kini adalah UU yang memastikan agar perilaku tidak terulang, bukan sekedar menghukum," ucap Kasandra Putranto kepada suara.com .

Kemudian menilik dari segi pelayanan aborsi, klinik klinik aborsi yang aman sebagai fasilitas umum saja sudah sangat sulit diakses, ditambah dengan adanya Pasal ini, Pemerintah akan semakin acuh dalam menyediakan layanan aborsi yang aman untuk perempuan, khususnya korban pemerkosaan.

Dampaknya, akan muncul praktik praktik aborsi ilegal yang tidak aman dengan harga yang tinggi atau bahkan perempuan perempuan yang berusaha menggugurkan kandungannya dengan meminum obat obatan, jamu jamuan, sampai jus nanas.

Hal ini tentu saja sangat beresiko menyebabkan kematian. Karena sejatinya praktik aborsi itu sama saja dengan mengeluarkan janin dari dalam kandungan secara paksa yang pastinya akan membuat si ibu kesakitan selama proses berlangsung. Hal ini dapat menambah kontributor untuk peningkatan Angka Kematian Ibu (AKI). Dilansir pada Suara.com, menurut penelitian yang dilakukan oleh mendiang Prof. Dr. Azrul Azwar menyebut aborsi tidak aman menyumbang 11 persen AKI, di beberapa daerah bahkan jumlahnya mencapai 15-50 persen.

Tidak hanya berdampak bagi si ibu, jika praktik aborsi ini gagal dilakukan, dampaknya bayi akan terlahir cacat dan tidak normal.

"Kriminalisasi terhadap pelaku aborsi dan pemberi layanan tanpa melihat alasannya sangat merugikan. Itu kan seperti sudah jatuh tertimpa tangga. Sudah diperkosa, hamil, harus menanggung bayi yang tidak diinginkan, aborsi, dikriminalisasi pula karena tindakannya," ungkap Atashendartini kepada Suara.com.

Opini opini yang dikemukakan di atas bukan berarti menyetujui pelegalan praktik aborsi. Karena sejatinya praktik aborsi diharamkan oleh agama dan dilarang oleh negara. Praktik aborsi juga memiliki banyak dampak negatif terhadap si ibu dan si bayi. Berdampak pada mental si ibu, kematian si anak dan si ibu, infeksi rahim, bahkan bisa sampai kerusakan mulut rahim, dan masih banyak lagi.

Opini opini tersebut dikemukakan dalam konteks apabila si ibu mengalami kondisi darurat yang dapat mencelakai keduanya dan korban pemerkosaan. Bagaimanapun tindakan aborsi tidak dapat dibenarkan karena janin dalam kandungan seorang ibu juga berhak merasakan  kehidupan, berhak lahir dan merasakan kasih sayang. Terlepas dari alasan atau penyebab kenapa janin itu sampai tumbuh di rahim seorang ibu.

Jadi RUU KUHP Pasal tentang aborsi ini tidak sepenuhnya salah jika dibuat dengan alasan menurunkan tingkat praktik praktik aborsi ilegal dan memberikan efek jera. Namun yang harus digaris bawahi adalah penyamarataan praktik aborsi tanpa adanya pengecualian pada kondisi kondisi tertentu. Pasal ini bisa jadi sangat tidak adil bagi para korban pemerkosaan, terlebih lagi bagi anak anak di bawah umur yang menjadi korban, dan pasal ini bisa jadi sangat berbahaya bagi ibu dengan kondisi janin yang membahayakan.

Saya yakin tidak ada perempuan yang ingin menggugurkan kandungannya dengan cuma cuma. Pasti selalu ada alasan dibaliknya. Dan alasan itu tidak bisa disamaratakan.    



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mengintip Wayang Tertua di Museum Wayang

  Menurut sejarah wayang diperkirakan sudah ada sejak 1500 tahun yang lalu. Sebuah kebudayaan tua yang terus menerus di wariskan kepada gene...