Selasa, 24 September 2019. Gedung DPR diserbu oleh ribuan mahasiswa
dari berbagai Universitas. Tidak hanya gedung DPR, namun juga gedung DPRD di
berbagai kota.
Mahasiswa tumpah ruah ke jalan menuntut elit pejabat agar mendengar
aspirasi rakyat. Mereka menyuarakan penolakan dan protes keras terhadap
Rancangan Undang Undang (RUU) Kitab Undang
Undang Hukum Pidana (KUHP) yang dinilai tidak pro rakyat, memberatkan, bahkan ‘ngawur’.
Setidaknya ada sebelas Rancangan Undang Undang yang dianggap cukup
kontradiktif dengan keadaan saat ini dan menuai banyak kontroversi dan polemik
hingga memicu aksi demonstrasi dari berbagai pihak. Dan salah satunya adalah
Pasal yang terkait dengan Aborsi.
Pasal ini tercantum pada RUU KUHP Pasal 470 Ayat (1) yang berbunyi,
"Setiap perempuan yang menggugurkan atau mematikan kandungannya atau
meminta orang lain menggugurkan atau mematikan kandungan tersebut dipidana
dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun,". Dan juga Pasal 471
ayat (1), "Setiap orang yang menggugurkan atau mematikan kandungan seorang
perempuan dengan persetujuannya dipidana dengan pidana penjara paling lama 5
(lima) tahun."
Pasal ini menjadi kontroversial karena menyebutkan “setiap
perempuan” yang berarti semua wanita hamil yang melakukan aborsi tanpa pengecualian.
Pada dasarnya Indonesia memang melarang pemberlakuan aborsi, hal
tersebut telah diatur dalam UU No. 36 tahun 2009 tentang kesehatan. Pasal 346 “Seorang
wanita yang sengaja menggugurkan atau mematikan kandungannya atau menyuruh
orang lain untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun”. Pasal
347 (1) Barang siapa dengan sengaja menggugurkan atau mematikan kandungan
seorang wanita tanpa persetujuannya, diancam dengan pidana penjara paling lama
dua belas tahun. (2) Jika perbuatan itu mengakibatkan matinya wanita tersebut,
diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun. Pasal 348 (1) Barang
siapa dengan sengaja menggugurkan atau mematikan kandungan seorang wanita
dengan persetujuannya, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun
enam bulan. (2) Jika perbuatan itu mengakibatkan matinya wanita tersebut,
diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.
Hal ini juga berlaku untuk para dokter dan tenaga medis yang
membantu berjalannya praktek aborsi. Pasal 349, Jika seorang dokter, bidan atau
juru obat membantu melakukan kejahatan berdasarkan pasal 346, ataupun melakukan
atau membantu melakukan salah satu kejahatan yang diterangkan dalam pasal 347
dan 348, maka pidana yang ditentukan dalam pasal itu dapat ditambah dengan
sepertiga dan dapat dicabut hak untuk menjalankan pencarian dalam mana
kejahatan dilakukan.
Namun, dalam Undang Undang
tersebut pada Pasal 75 jelas disebutkan terdapat pengecualian bagi korban pemerkosaan
dan dengan alasan medis yang membahayakan. (1) Setiap orang dilarang melakukan
aborsi. (2) Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan
berdasarkan: a. indikasi kedaruratan medis yang dideteksi sejak usia dini
kehamilan, baik yang mengancam nyawa ibu dan/atau janin, yang menderita
penyakit genetik berat dan/atau cacat bawaan, maupun yang tidak dapat
diperbaiki sehingga menyulitkan bayi tersebut hidup di luar kandungan; atau b.
kehamilan akibat perkosaan yang dapat menyebabkan trauma psikologis bagi korban
perkosaan. (3) Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya dapat
dilakukan setelah melalui konseling dan/atau penasehatan pra tindakan dan diakhiri
dengan konseling pasca tindakan yang dilakukan oleh konselor yang kompeten dan
berwenang. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai indikasi kedaruratan medis dan
perkosaan, sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) diatur dengan
Peraturan Pemerintah
Pengecualian dan pelegalan aborsi ini juga tercantum pada Pasal 31 Pengesahan
Peraturan Pemerintah (PP) nomor 61 tahun 2014 tentang Kesehatan Produksi, yang
berisi, “(1) Tindakan aborsi hanya dapat dilakukan berdasarkan: a. indikasi
kedaruratan medis; atau b. kehamilan akibat perkosaan. (2) Tindakan aborsi
akibat perkosaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b hanya dapat
dilakukan apabila usia kehamilan paling lama berusia 40 (empat puluh) hari
dihitung sejak hari pertama haid terakhir”
Pasal ini tentunya bertolak belakang dengan Rancangan Undang Undang
baru yang dengan gamblang menyatakan ‘setiap perempuan’. Yang tentunya akan
sangat berefek bagi para perempuan. Khususnya korban pemerkosaan dan wanita
hamil dengan janin yang membahayakan.
"Kita sudah punya UU kesehatan yang baik, ditambah peraturan
menterinya. Dan kemudian ada Peraturan Pemerintah (PP) 2016 khusus untuk
layanan aborsi bagi kasus perkosaan. Jadi itu sebenarnya bukan urusan
pidana," ungkap Atashendartini Habsjah selaku pendiri dan peneliti Yayasan
Kesehatan Perempuan (YKP) kepada Suara.com , Senin (23/9/2019).
Hal ini juga dituturkan oleh ketua Komisi Nasional Anti Kekerasan
terhadap Perempuan (KomNas Perempuan) kepada Beritagar.id , “Pasal 470 RUU KUHP
tidak sinkron dengan UU Kesehatan dan komitmen SDGs (Sustainable Development
Goals) untuk menurunkan angka kematian ibu akibat kehamilan. Perlu ada
sinkronisasi," (20/9/2019).
Bayangkan bila seorang perempuan dalam kondisi hamil, namun
kemudian janin yang dikandungnya ternyata malah berdampak pada kematian bagi
sang ibu dan anak. Dan jalan keluar terakhir yang dapat dilakukan agar sang ibu
tetap hidup adalah hanya dengan menggugurkan kandungannya, lantas bagaimana? .
Si ibu harus rela kehilangan anak yang dikandungnya dan juga harus
terjerat hukum dengan keadaan masih down pasca aborsi, ibarat sudah jatuh
tertimpa tangga.
Dan bukan tidak mungkin hal ini bisa menjadi pemicu depresi bagi
sang ibu yang jika dibiarkan akan berdampak buruk pada kesehatan mentalnya. Itu
jika si ibu memilih menggugurkan kandungannya. Jika tidak, maka bertambahlah angka
kematian ibu melahirkan di Indonesia.
Mengenai hal ini, dilansir dalam Beritagar.id , Data Survei
Demografi dan Kesehatan Indonesia menunjukkan jumlah Angka Kematian Ibu (AKI)
tahun 2015 yakni 305 kasus per 100.000 kelahiran hidup atau menurun 17,7 persen
dibandingkan tahun 2012.
Merujuk historinya, penurunan juga terlihat dari 1990 hingga 2007,
yang kemudian melonjak drastis 36,5 persen pada tahun 2012, sejumlah 359 kasus
per 100.000 kelahiran hidup.
Angka Kematian Ibu (AKI) diukur dari banyaknya kematian perempuan
pada saat hamil atau selama 42 hari sejak terminasi kehamilan tanpa memandang
lama dan tempat persalinan.
Selain kematian ibu hamil dikarenakan alasan medis sebagai
penyumbang AKI, Azriyana juga mengatakan, “Unwanted Pregnancy menyumbang 70
persen angka kematian ibu”
Unwanted pregnancy atau kehamilan yang tidak diinginkan menjadi
penyumbang terbanyak Angka Kematian Ibu. Maraknya kasus pelecehan seksual di
bawah umur dan pemerkosaan wanita sudah pasti menjadi salah satu alasan
tingginya persentase kematian dikarenakan kehamilan yang tidak diinginkan.
Dikutip dari BBC Indonesia, seperti kasus seorang remaja berusia 16
tahun di Padang, Sumatera Barat yang menjadi korban pemerkosaan oleh tujuh
orang laki laki.
Remaja itu disebut telah diperkosa berkali kali dari Februari
hingga April. Korban, yang dilaporkan tengah mengalami trauma berat itu, kini
tengah mengandung lima bulan. "Dia tidak sekolah lagi, sudah berhenti. Dia
mengundurkan diri karena hamilnya sudah kelihatan," ujar Kasat Reskrim
Polres Padang Pariaman, AKP Lija Nesmon.
Remaja ini tidak bisa menggugurkan kandungannya karena usia kehamilannya
yang telah lebih dari enam minggu dan terbentur dengan Undang Undang kesehatan
yang tidak memperbolehkan kehamilan usia enam minggu untuk di gugurkan. Dan ini
diperparah pula dengan adanya RUU KUHP yang melarang wanita untuk menggugurkan
kandungannya.
Dalam kasus ini, si remaja mengalami trauma, putus sekolah, dan harus
berjuang melahirkan dengan keadaan mental tertekan tanpa seorang suami dan
sosok ayah bagi anaknya. Belum lagi rasa malu yang harus ditanggung olehnya. Ini
akan menjadi luka dan juga kotak pandora bagi si remaja hingga ia dewasa. Ia
tentu pasti ingin menghapus ingatan tentang kejadian itu. Dan jika hal ini
tidak di tangani dengan benar dapat menimbulkan dampak negatif di kemudian
hari.
Ini hanya satu dari sekian banyak kasus serupa yang melibatkan anak
di bawah umur. Anak anak yang seharusnya dapat belajar dan bermain sesuai
haknya. Malah digunakan sebagai pelampias hawa nafsu oleh oknum oknum tidak
bertanggung jawab. Dan sebagai korban, anak anak ini berhak kembali melanjutkan
hidup normalnya dengan mengaborsi janin yang tidak di inginkan tersebut. Agar
mereka bisa terus bersekolah dan tidak terbebani tittle sebagai seorang ibu.
Apalagi dengan mental dan raga yang belum sepenuhnya siap menjadi seorang ibu.
Hal ini juga berlaku bagi korban pemerkosaan yang telah dewasa,
mereka seharusnya bisa bebas tanpa menanggung trauma dan luka dari masa lalu
mereka. Karena jika para korban mengalami trauma berat dan tidak mendapatkan
penanganan yang tepat lalu memilih membesarkan anak dalam kandungannya
dikarenakan Undang Undang bukan tidak mungkin nantinya si anak akan mendapat
perlakuan kekerasan dari sang ibu sebagai ganti balas dendam masa lalunya. Hal
ini nantinya akan menambah daftar panjang kasus kekerasan orang tua terhadap
anak.
Seperti dikutip dari Beritagar.id. Azriana, ketua KomNas Perempuan,
mengatakan "Pasal 467 tentang perampasan nyawa terhadap anak yang baru
dilahirkan (infantisida) diskriminatif terhadap perempuan karena mengasumsikan
hanya ibu yang takut kelahiran anak diketahui oleh orang (dalam konteks kelahiran
anak di luar nikah),"
Realitanya, Komnas menilai laki-laki yang menyebabkan kehamilan
juga ketakutan. Alhasil, pasal ini "diskriminatif dan korban kriminalisasi
adalah perempuan."
Tidak ada pilihan yang terbaik. Melakukan aborsi sama saja
menjebloskan diri ke dalam penjara. Namun jika membiarkan si janin hidup, kita
tidak tahu apa yang akan terjadi ke depannya pada si anak. Tidak ada yang
menjamin.
Memang tingkat trauma setiap orang berbeda beda, tidak semuanya
sama. Ada yang bisa dengan cepat pulih dan menjadikan apa yang dialaminya
sebagai pembelajaran agar kedepannya tidak ada lagi korban yang jatuh, dan ada
juga orang yang susah terlepas dari traumanya. Mau bagaimanapun mereka tetap
sama sama korban. Dimana keadilan bagi korban ketika dia memilih untuk pulih
dari traumanya dan berusaha bangkit dengan melupakan, malah harus berurusan
dengan hukum. Dimana keadilan ketika hukum saja tidak berpihak pada korban dan
malah menjerat korbannya dengan 4 tahun
penjara?.
Seperti dilansir dalam Suara.com. Kasandra Putranto, seorang
psikolog klinis menilai, adanya inkonsistensi dan berpotensi mengancam
perempuan korban pemerkosaan.
"Bukan cuma perempuannya (yang terancam), juga yang
menyarankannya," tuturnya saat dihubungi Suara.com, Jumat
(20/9/2019).
Ia menambahkan, hal ini juga dapat menimbulkan dampak psikologis
korban pemerkosaan jika ikut terjerat dalam pasal tersebut.
"Akan mengalami kekerasan ganda, trauma ganda," lanjutnya.
Harusnya hukum dapat memihak kepada korban. Tidak malah ikut
menjerat korban dengan pasal. Dan yang harusnya di berantas adalah para pelaku
kejahatan bukan korban kejahatan.
"Seperti
yang saya katakan UU masa kini adalah UU yang memastikan agar perilaku tidak
terulang, bukan sekedar menghukum," ucap Kasandra Putranto kepada
suara.com .
Kemudian menilik dari segi pelayanan aborsi, klinik klinik aborsi
yang aman sebagai fasilitas umum saja sudah sangat sulit diakses, ditambah dengan
adanya Pasal ini, Pemerintah akan semakin acuh dalam menyediakan layanan aborsi
yang aman untuk perempuan, khususnya korban pemerkosaan.
Dampaknya, akan muncul praktik praktik aborsi ilegal yang tidak
aman dengan harga yang tinggi atau bahkan perempuan perempuan yang berusaha
menggugurkan kandungannya dengan meminum obat obatan, jamu jamuan, sampai jus
nanas.
Hal ini tentu saja sangat beresiko menyebabkan kematian. Karena
sejatinya praktik aborsi itu sama saja dengan mengeluarkan janin dari dalam
kandungan secara paksa yang pastinya akan membuat si ibu kesakitan selama
proses berlangsung. Hal ini dapat menambah kontributor untuk peningkatan Angka
Kematian Ibu (AKI). Dilansir pada Suara.com, menurut penelitian yang dilakukan
oleh mendiang Prof. Dr. Azrul Azwar menyebut aborsi tidak aman menyumbang 11
persen AKI, di beberapa daerah bahkan jumlahnya mencapai 15-50 persen.
Tidak hanya berdampak bagi si ibu, jika praktik aborsi ini gagal
dilakukan, dampaknya bayi akan terlahir cacat dan tidak normal.
"Kriminalisasi terhadap pelaku aborsi dan pemberi layanan
tanpa melihat alasannya sangat merugikan. Itu kan seperti sudah jatuh tertimpa
tangga. Sudah diperkosa, hamil, harus menanggung bayi yang tidak diinginkan,
aborsi, dikriminalisasi pula karena tindakannya," ungkap Atashendartini
kepada Suara.com.
Opini opini yang dikemukakan di atas bukan berarti menyetujui
pelegalan praktik aborsi. Karena sejatinya praktik aborsi diharamkan oleh agama
dan dilarang oleh negara. Praktik aborsi juga memiliki banyak dampak negatif
terhadap si ibu dan si bayi. Berdampak pada mental si ibu, kematian si anak dan
si ibu, infeksi rahim, bahkan bisa sampai kerusakan mulut rahim, dan masih
banyak lagi.
Opini opini tersebut dikemukakan dalam konteks apabila si ibu
mengalami kondisi darurat yang dapat mencelakai keduanya dan korban
pemerkosaan. Bagaimanapun tindakan aborsi tidak dapat dibenarkan karena janin
dalam kandungan seorang ibu juga berhak merasakan kehidupan, berhak lahir dan merasakan kasih
sayang. Terlepas dari alasan atau penyebab kenapa janin itu sampai tumbuh di
rahim seorang ibu.
Jadi RUU KUHP Pasal tentang aborsi ini tidak sepenuhnya salah jika
dibuat dengan alasan menurunkan tingkat praktik praktik aborsi ilegal dan
memberikan efek jera. Namun yang harus digaris bawahi adalah penyamarataan
praktik aborsi tanpa adanya pengecualian pada kondisi kondisi tertentu. Pasal ini
bisa jadi sangat tidak adil bagi para korban pemerkosaan, terlebih lagi bagi
anak anak di bawah umur yang menjadi korban, dan pasal ini bisa jadi sangat
berbahaya bagi ibu dengan kondisi janin yang membahayakan.
Saya yakin tidak ada perempuan yang ingin menggugurkan kandungannya
dengan cuma cuma. Pasti selalu ada alasan dibaliknya. Dan alasan itu tidak bisa
disamaratakan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar