Kamis, 10 Oktober 2019

Mind Maping, Kerangka Karangan, dan Contoh Karangan


Mind Maping





Kerangka Karangan

Tema / Topik               : Disabilitas
Judul                           : Diary Bisu

Pembukaan  :
1. Latar Suasana       : Suasana Kampus
2. Latar Waktu           : Tahun 2017 - 2018 an
3. Latar Tempat         : Kampus
4. Tokoh                     : Aku / Vi ( Perempuan, 20 tahun)
   Darwin / Win (Laki laki, 19 tahun)


Isi                                :
1.  Konflik                    : Tokoh Darwin sebagai penyandang disabilitas,
                                     menyebabkan ia dijauhi dan dibully.
2. Klimaks                  : Tokoh aku menemukan Darwin mencoba bunuh diri.
3. Anti Klimaks           : Tokoh aku mendapat kabar Darwin bunuh diri.


Penutup                    :Tokoh Aku mencoba merangkul anak anak disabilitas lainnya agar           kejadian yang menimpa Darwin tidak terulang. 


Pesan                 :Disabilitas bukan alergi yang dapat menular, tidak seharusnya orang orang memperlakukan penyandang disabilitas seolah olah mereka melakukan dosa besar hingga pantas di bully dan diolok olok atau dihakimi dan dihujat hanya karena kekurangan fisik mereka. Atau dijauhi seperti mengidap alergi parah yang menular. Mereka juga manusia sama seperti yang lain, Tidak seharusnya seorang manusia memperlakukan manusia lainnya seperti itu.







Diary Bisu

Di senja itu, aku kembali melihatnya. Duduk menghadap langit di bawah remang bayang rindang pohon mangga yang tengah berbunga. Hampir setiap hari aku melihatnya, duduk di temani sebuah buku hitam dan barang barang kuliahnya. 

Bukan seorang yang spesial, dia hanya salah satu dari beribu orang biasa dengan banyak kekurangan. Kutebak dirinya seorang mahasiswa baru.

Awalnya, kukira dia hanya iseng meneduh di bawah pohon di mana orang jarang lewati. Tapi di hari berikutnya, setiap kali ku lewati jalan itu selalu kutemukan dirinya berteman dengan buku hitamnya.

Sore itu, kuberanikan diri. Kuhampiri dirinya sepulang kelas. Kusapa dirinya sambil tersenyum. Tapi ia tidak menoleh pun menyapa balik, bahkan sebuah ulasan senyum balik pun tidak. 

Aku kebingungan, apa sapaan ku terbawa angin hingga ia tidak mendengar?. Semakin kuhampiri dirinya, sampai aku tepat berada di hadapannya.

Tampak raut terkejut dalam ekspresi wajahnya. Dan entah apa aku salah tangkap atau tidak, namun terbersit binar ketakutan dalam mata hitamnya. 

Aku tersenyum dan menyapanya lagi. Kali ini ia balas tersenyum hingga matanya menyabit. 

"Boleh ikutan duduk?" Tanyaku.

Dia mengangguk semangat. Dengan senyuman yang semakin lebar dia bergeser memberiku tempat.

Aku duduk lalu menatap siluetnya dari samping. 

"Kenapa belum pulang?"

Dia menatapku dengan tatapan bingung.

"Kenapa belum pulang?" Ulangku.

Dia kembali tersenyum dan membuka buku hitamnya, menulis beberapa kata dan menyodorkannya padaku. 

Menunggu senja. Tulisnya

Kamu

Ku terhenyak. Bukan karena pertanyaannya, namun sebuah pertanyaan lain yang mengganggu relung pikiranku. 

Menatap binar matanya kudorong pertanyaan itu hingga sudut pikiranku, lalu tersenyum, mengambil pena di tangannya dan menulis jawaban atas pertanyaannya. 

Menemanimu. Tulisku.

Dia tampak terdiam, lalu kemudian tertawa tanpa suara. 

Dia kembali menulis. 

Ini sudah mau malam, pulang. Anak perempuan gak baik berada di luar malam malam.

Aku kembali mengambil pena dari tangannya, dan menoreh jawaban.

Anak laki laki juga gak baik di luar malam malam sendirian. Nanti ketempelan.

Dia kembali tertawa, namun kembali tak ada suara yang keluar dari kerongkongannya.

Kalau gitu kita sama sama pulang saja. 

Tapi senja belum usai. Tulisku

Its okay.

Selanjutnya aku mengangguk, menyetujui ajakannya. Dan dengan begitu ia merapihkan barangnya lalu berdiri. 

Aku mengikutinya berdiri.

Di bawah bayang pohon mangga dan semburat jingga senja itu, kami saling berhadapan, melempar senyum satu sama lain. 

Lalu tiba tiba ia menyodorkan tangannya. Aku tertawa. Dia terlalu formal. 

Aku menyambut tangannya dan mengoncangkan pelan. Bersalaman. 

Kurasakan tangan dinginnya di bawah kulit tanganku. Itu aneh, karena udara sore itu, terasa hangat.

Dia melepasnya lalu tersenyum sambil dadah. Aku tertawa pelan dan membalasnya. Kemudian dengan di sinari cahaya jingga dari sang senja ia berlalu dari hadapanku. 

Kutatap punggungnya hingga hilang di balik simpangan jalan. 

Esoknya aku kembali bertemu dengannya, namun bukan di tempat senja kemarin. Dan daripada bertemu, mungkin lebih tepat di sebut berpapasan.

Aku berpapasan dengannya di koridor kelas kelas. Namun ada yang berbeda, wajahnya terlihat muram, tidak ada binar terang yang kemarin ku lihat. 

Aku tersenyum dan mencoba menyapa. Namun ia tampak tidak melihatku, bahkan terkesan buru buru. Aku menatap nya bingung.

Hingga akhirnya aku memandang jalan yang dilewati olehnya tadi, penuh dengan orang orang tertawa dan saling berbisik.

Aku mengernyit heran, kenapa ini? 

Aku melewati jalan yang tadi di lewatinya, sambil menatap satu satu orang yang tadi tertawa, dan ajaibnya mereka diam bahkan mulai pergi satu satu. 

Di hari yang lain aku kembali berpapasan dengannya. Namun kali ini bajunya nampak basah. Aku mencegatnya. Dia terlihat kaget dan berhenti.

"Kenapa?" Tanyaku khawatir.

Dia hanya menggeleng. Kemudian lalu. 

Sekali lagi gurat muram tampak jelas dalam wajahnya. 

Kutatap punggungnya yang basah terlihat lesu hingga hilang ditelan banyaknya orang lalu lalang.

Setelah hari itu, berhari hari aku tak lagi melihatnya. 

Penasaran ingin mencari tapi baru ingat aku tak pernah bertanya nama. Dan diapun tak tahu namaku. Baru kusadari aku sama sekali tidak tahu apa apa tentangnya.

Beberapa kali kusambangi pohon mangga saat senja mulai lahir. Tempatnya menyendiri. Namun harapanku bertemu harus pupus karena ia tak tampak di tempat itu. 

Jauh setelah hari itu aku bertemu lagi dengannya. 

Kondisinya kacau, bahkan sagat kacau. Tasnya penuh coretan pilox warna warni. Dia berjalan agak pincang. Bahkan rambutnya acak acakan dan basah. 

Waktu itu senja. Lorong lorong kelas sudah lowong dan kelas kelas sudah kosong.

Aku berlari mengejarnya. Lalu menarik lengannya. Dia menoleh dan tampak meringis kesakitan dengan wajah marah yang jelas kentara.

Begitu ia menoleh dapat kulihat lebam biru keunguan dan jejak darah di wajahnya. Aku hampir menjerit ngeri jika saja aku tidak cepat sadar bahwa aku harus segera menolongnya.

Tanpa basa basi kugandeng tangannya lalu kutarik ia ke ruang kesehatan kampus. Dia tidak melawan bahkan terkesan pasrah ku tarik tarik. Dengan agak terpincang pincang ia mengekor.

Sampai di sana ku dudukan ia di atas ranjang. Ruang kesehatan kosong, tidak ada orang di sana karena sudah sore. Untunglah aku sempat beberapa kali belajar tentang pengobatan di klub PMR jaman SMA dulu. 

Dia terlihat diam. Sama sekali tidak ada raut ceria di wajah hanya ada  murung dan secercah  amarah. 

Aku mengambil handuk kecil milikku yang selalu kubawa di tas, kotak P3K dan air.

Aku menyodorkan air dan handuk itu. Ia menerimanya dalam diam, menghanduki kepalanya yang basah dan meneguk airnya hanya dalam satu tegukan. 

Ia tampak sedikit rileks. Aku menatapnya dan tersenyum hangat, berusaha meyakinkan apa yang akan kulakukan selanjutnya tidak akan menyakitinya.

Aku mulai membersihkan luka lukanya dan mulai mengobatinya. 

Ia berjengit, merasa kesakitan. Aku menatapnya, menggumam maaf berulang kali dengan pelan. Dia hanya mengangguk dan membiarkan aku mengobatinya. 

Selesai dengan pekerjaanku mengobati. Aku duduk di sampingnya. Menatapnya sambil tersenyum. Dia hanya menunduk tak membalas. Dan baru kusadari ada sebuah alat pembantu dengar di telinganya.

"Nama" ucapku

Ia menoleh, menatap tepat ke dalam mataku. 
Pernahkah aku berkata bahwa dia memiliki mata hitam yang tajam seperti kucing yang bisa melembut secara otomatis ketika ia tersenyum? Ya dia punya itu.

Dan berkali kali aku merasa terhipnotis hanya karena dia menatapku. 

"Nama. Nama kamu siapa? Kita belum kenalan" ucapku

Dia tampak mengerti. Tapi tak kunjung mengeluarkan buku hitam miliknya untuk menjawab pertanyaanku.

Berinisiatif. Aku mengeluarkan selembar kertas dan sebatang pena. Lalu menyodorkan padanya.
Ia tampak ragu untuk mengambilnya. Tapi pada akhirnya ia mengambilnya dan menulis huruf demi huruf yang membentuk sebuah nama. 

Win. Tulisnya. 

Aku tersenyum lalu ikut menulis di lembar yang sama.

Aku Vi.

Dia menatapku.
Aku kembali tersenyum dan menulis.

Kita teman kan?

Dia mengerjap mungkin merasa ragu sampai akhirnya ia kembali menorehkan sesuatu di atas kertas.

Aku mau pulang. Terima kasih sudah mengobatiku.

Tanpa menunggu lama ia langsung beranjak dan menyandang tasnya di bahu kanan. Meninggalkanku tanpa jawaban.

Setelah hari dimana aku mengobatinya, aku kembali tidak pernah melihatnya. Dan aku pun tidak mencarinya. Karena kuanggap tidak adanya jawaban darinya itu berarti ia tak ingin berteman denganku. 

Tapi hari itu di waktu senja, tanpa direncanakan aku lewat di depan pohon mangga. Dan dia ada di sana. 

Tapi yang kulihat bukanlah ia yang sedang menulis atau sedang menatap langit.

Kali ini dengan gurat amarah, kecewa, dan sakit hati yang jelas terlihat, ia menggoreskan sebilah pisau kecil di nadi kirinya. Ia tampak mengerikan. Darah menetes ke atas buku hitam miliknya bahkan mengotori kemeja putih yang ia kenakan. Dan wajahnya terlihat pucat.

Tergopoh gopoh aku menghampirinya. Menangkap tangannya yang memegang pisau mencoba menghentikannya. Ia tidak melawan, seolah pasrah. 

Aku mengambil pisau itu, menjauhkannya dari jangkauannya. 

Aku menatap matanya mencoba mencari alasan apa yang membuatnya melakukan hal ini.

Namun setelah itu ia berontak dan genggamanku dari lengannya terlepas. Ia berlari menjauh dengan darah segar yang masih mengalir dari luka di lengannya.

Kembali aku ditinggalkan olehnya.

Setelah kejadian itu berbulan bulan setelahnya aku tidak pernah lagi melihatnya. Entah di kampus, di lorong, atau saat senja di bawah pohon mangga. Bahkan walaupun itu hanya berita tentangnya.

Sampai akhirnya sebuah berita tentangnya tersebar, bukan berita bahagia seperti yang kutunggu. Itu berita duka cita, berita itu tersiar ke seantero kampus. Ia meninggal karena bunuh diri.

Satu persatu, perwakilan dari setiap angkatan pergi untuk melayat. Dan aku terpilih untuk ikut melayat.

Di rumahnya, kulihat ia sudah terbaring kaku dengan wajah yang pucat pasi. Hatiku terasa sesak, terlintas berbagai penyesalan dalam diriku.

Apalagi ketika ibunya menyerahkan buku hitamnya padaku sambil terisak sedih.

Andaikan aku berani menegurnya ketika pertama kali aku melihatnya, andaikan aku bersamanya setiap hhari mendampinginya dan melindunginya, akankah kejadian ini akan terjadi?

Senja menjelang, para pelayat telah kembali ke rumah masing masing. Begitupun diriku. Sampai di rumah, kubuka buku hitam darinya, obrolan kami pertama kali teryoreh di sana. Semua rasa yang ia rasa tertoreh di sana. Terjawab sudah semua pertanyaanku selama ini.

Dan itulah mengapa aku memilih untuk menjadi perantara para penyandang disabilitas dengan dunia luar dan mengajar sekolah untuk para penyandang disabilitas.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mengintip Wayang Tertua di Museum Wayang

  Menurut sejarah wayang diperkirakan sudah ada sejak 1500 tahun yang lalu. Sebuah kebudayaan tua yang terus menerus di wariskan kepada gene...