Kamis, 31 Oktober 2019

Saat Senja


Senja itu tak selalu indah. Bagi Rayi, ada banyak hal menyeramkan yang tersembunyikan rapi dalam kemilau indah jingganya. Seperti bayang-bayang remang pohon rimbun yang menyembunyikan seringai sosok dengan rambut urakan dan baju-baju kuno jaman nenek moyang, atau siluet-siluet gedung tinggi tak terpakai di tiap penghujung jalan yang menjadi tempat bermain favorit sosok bergigi runcing dengan tubuh penuh darah.

(Cr.Tumblr)

(Cr.Google)

Hanya sedikit yang tahu tentang rahasia itu. Dan ya, Rayi salah seorang dari kelompok minoritas itu. Karenanya, senja adalah hal paling mengerikan bagi Rayi.

Tak ada yang istimewa dari Rayi. Ia hanya seorang mahasiswa semester tiga dengan IPK yang standar, dengan teman-teman yang biasa, dan keluarga biasa. Tampangnya pun biasa, tidak tampan-tampan amat tapi juga tidak jelek. Intinya, Rayi hanya seorang mahasiswa biasa yang inginnya rantau cari ilmu, pulang bawa uang.

Mungkin, satu-satunya yang bisa dibanggakan darinya hanya statusnya yang bisa terbilang lumayan aktif dalam organisasi dan acara-acara kampus. Namun begitu, baginya aktif tidak selalu berarti baik, karena seringkali Rayi harus tetap berada di kampus untuk mengurusi banyak hal. Yang berarti ia masih harus berada di luar ketika senja menuju terbitnya bulan. Rayi tentu saja benci hal itu.

Sore itu, Rayi duduk termenung di bawah halte bus Transjakarta menunggu kendaraan umum itu menjemputnya. Ia menunduk, menghindari pandangan-pandangan mengincar dari sosok-sosok dengan  kuku panjang dan leher terkoyak yang sedari tadi menatapnya lapar.

Rayi menutup kedua telinganya dengan earphone, berusaha tidak terpedaya bisikan-bisikan mereka. Namun juga berupaya untuk tetap terlihat senormal mungkin.

Hingga satu sosok tiba tiba mengelindingkan kepalanya tepat di bawah wajah Rayi yang menunduk menatap tanah, sedangkan bagian leher hingga ujung kakinya masih kokoh berdiri di sisi jalan yang bersebrangan .

Rayi tercekat. Kepala itu hanya punya satu mata, satu bola matanya tak ada di tempatnya –yang Rayi sadari berada di genggaman tangannya yang berada di seberang jalan- dan satu lagi menggelayut hampir putus di tempatnya, mengeluarkan darah segar. Dari bagian terputusnya leher, darah mengucur hampir mengenai sepatu putih milik Rayi.

Kepala itu persis seperti kepala yang tergeletak mati. Namun ketika Rayi hendak mengambil napas menormalkan kekagetannya, manik mata si kepala yang menggelayut melirik tajam. Ia menatap Rayi dengan seringaian dari bibirnya yang sobek, menunjukan gigi runcingnya yang menyeramkan.     

Rayi berteriak tanpa harus berpikir dua kali. Menutup wajahnya yang berbanjir peluh dan berlari pergi sejauh jauhnya. Beberapa kali ia menoleh kebelakang, menatap ke arah orang orang yang tetap beraktifitas tanpa peduli apa yang sedang dilewatinya.

Orang orang itu tidak tau. Batin Rayi. Mereka bisa mati.

Tapi yang Rayi tidak tau, bahkan orang orang itu tidak akan peduli.

Rayi terus berlari hingga kakinya tak mampu lagi membawanya berlari cukup jauh. Ia merunduk, bertumpu pada kedua lututnya, menarik napas dan mengeluarkannya dengan cepat berusaha menormalkan deru napasnya.

Si kepala buntung, tidak mengikutinya. Ia mendongak, menatap ramainya orang lalu lalang dan bulan yang sudah seutuhnya terbit. Keramaian, satu-satunya tempat ia bisa menghindar dari “mereka”. Tidak sepenuhnya menghindar, namun lumayan untuk menyamarkan keberadaannya.

Dua sosok arah jam dua, satu arah jam empat, dan tiga di arah jam dua belas. Batin Rayi bergumam.

Syukurlah semuanya berada lumayan jauh darinya. Inilah kelebihan Rayi, ia bisa melihat dan mendeteksi yang seharusnya tak terlihat, dan yang seharusnya tak tersentuh dunia manusia. Dua dunia yang saling berdampingan namun tak pernah bersinggungan. Si mati dan si hidup. Rayi berada antar dua dunia itu. 

Daripada kelebihan, Rayi lebih suka menyebutnya dengan kemalangan. Anehnya, kemalangannya ini hanya akan aktif ketika senja mulai naik, jadi mentari pagi adalah satu-satunya yang paling ditunggu oleh Rayi. Dan semenjak kemalangan itu datang pada Rayi, makhluk-makhluk aneh yang tak seharusnya dilihat oleh Rayi ini, seperti tertarik, mereka seperti memangsa Rayi. Memelototinya, mengganggunya, dan bahkan mengejar-ngejarnya. 

Rayi menunduk, kembali melanjutkan perjalanannya menuju rumah. Kalau sudah begini, ia jadi tidak perlu naik kendaraan umum lagi. Rumahnya hanya tinggal beberapa blok dari sana lalu masuk ke dalam gang. Yang jadi pertanyaan, bagaimana ia bisa melewati gang yang sepi? Tempat sepi seperti itu sudah pasti akan dipenuhi “mereka”.

Wajah dan tubuhnya sudah dipenuhi peluh, sisa berlari, meski angin berhembus dengan cukup keras. Ia lelah. Matkul dan dosen hari ini sudah sangat melelahkan ditambah harus menghindari “mereka”. Energinya jadi terkuras habis.

Rayi berhenti di depan gang. Terdiam melihat banyaknya sosok “mereka” di sana. Berdecak sebal. Sepertinya akan ada aksi kejar-kejaran sesi kedua.

Tapi dari kejauhan Rayi dapat melihat sesosok yang ia kenal melambaikan tangan ke arahnya sambil tersenyum riang di depan gerbang rumahnya. Itu Tena, sahabatnya!. Dan dengan begitu, ia mengumpulkan sisa-sisa energi terakhirnya dan berlari secepat kilat. Namun aneh, kali ini “mereka” tidak mengejarnya seperti biasa. Mereka hanya berdiri melihatnya tanpa melakukan apa-apa. Apa kini mereka akhirnya kehilangan minat padanya?.

Memilih tak peduli, Rayi langsung menarik tangan Tena masuk ke dalam rumahnya. Kemudian mengunci pintu depan dengan rapat masih dengan napas yang terengah engah karena lelah berlari.

“Kenapa sih Ray?”

Rayi tak menoleh, sibuk mengintip melalui celah gorden jendela. Memantau keadaan luar.

“Mereka” ucap Rayi.

Hening sesaat sampai terdengar suara kikikan tertahan yang berasal dari Tena, barulah Rayi menoleh menatap Tena dengan pandangan bingung.

“Kenapa?”

“Gapapa hehe. Kamu tadi dikejar mereka lagi?” Tena balik bertanya.

Rayi mengangguk, lalu menghempaskan tubuhnya pada sofa ruang tamu. Tena mengikuti dan duduk di sebelahnya.

“Cerita” Pinta Tena kemudian.

Lalu mengalirlah cerita kesehariannya hari ini.

Tena memang menjadi satu satunya teman yang Rayi percayai tentang semua ceritanya. Karena hanya Tena yang tidak pernah merespon semua cerita Rayi tentang “Mereka” dengan tatapan aneh dan Tena selalu ada ketika Rayi membutuhkannya. Bahkan sudah hampir sebulan ini semenjak "Kemalangannya" muncul, Tena sering datang mampir malam malam hanya untuk sekedar mendengar cerita Rayi atau menemaninya yang ketakutan setelah melihat "Mereka". 

Bagi Rayi, Tena adalah sehabat terbaiknya, begitu pula sebaliknya. Mereka berdua, sudah menjadi teman entah sejak kapan, tapi yang pasti itu sudah lama sekali. Dan mereka sudah merasa klop satu sama lain. 

Selama Rayi bercerita, Tena hanya diam sambil sesekali merespon dengan tawa. Hingga cerita yang Rayi kisahkan habis, Tena masih diam dan hanya merespon dengan senyum.

“Kenapa sih lu dari tadi cuman ketawa tawa terus senyum senyum ga jelas?”

“Gapapa Ray. Lucu soalnya cerita kamu” jawab Tena.


Rayi hanya memutar mata malas mendengar alasan tak masuk akal Tena. Orang lagi cerita horor kok dia bilang lucu. Selera humor anak ini aneh ternyata.

“Ray, kenapa kamu takut sama mereka?” tanya Tena.

“Ya seremlah Ten, lu ga bisa liat mereka sih”

Tena lagi lagi tertawa mendengar jawaban Rayi. Bahkan lebih geli dari sebelumnya.

“Kenapa sih???” Tanya Rayi gemas melihat sahabatnya yang terus tertawa.

Tawa Tena mereda, ia menyeka air matanya yang jatuh akibat tertawa terlalu geli.

“Tapi Ray... gimana kamu bisa takut kalau kamu aja salah satu dari ‘mereka’. Ini udah sebulan kamu masih belum sadar??? Jangan bercanda Ray aku tau kamu tidak sebodoh itu”

Rayi membeku.




















Kelompok 1 - Teks Narative

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mengintip Wayang Tertua di Museum Wayang

  Menurut sejarah wayang diperkirakan sudah ada sejak 1500 tahun yang lalu. Sebuah kebudayaan tua yang terus menerus di wariskan kepada gene...