Senja itu tak selalu indah. Bagi Rayi, ada banyak hal menyeramkan yang tersembunyikan rapi dalam kemilau indah jingganya. Seperti bayang-bayang remang pohon rimbun yang menyembunyikan seringai sosok dengan rambut
urakan dan baju-baju kuno jaman nenek moyang, atau siluet-siluet gedung tinggi
tak terpakai di tiap penghujung jalan yang menjadi tempat bermain favorit sosok
bergigi runcing dengan tubuh penuh darah.
Hanya sedikit yang tahu tentang rahasia itu. Dan ya, Rayi salah
seorang dari kelompok minoritas itu. Karenanya, senja adalah hal paling
mengerikan bagi Rayi.
Tak ada yang istimewa dari Rayi. Ia hanya seorang mahasiswa
semester tiga dengan IPK yang standar, dengan teman-teman yang biasa, dan
keluarga biasa. Tampangnya pun biasa, tidak tampan-tampan amat tapi juga tidak
jelek. Intinya, Rayi hanya seorang mahasiswa biasa yang inginnya rantau cari
ilmu, pulang bawa uang.
Mungkin, satu-satunya yang bisa dibanggakan darinya hanya statusnya
yang bisa terbilang lumayan aktif dalam organisasi dan acara-acara kampus.
Namun begitu, baginya aktif tidak selalu berarti baik, karena seringkali Rayi
harus tetap berada di kampus untuk mengurusi banyak hal. Yang berarti ia masih
harus berada di luar ketika senja menuju terbitnya bulan. Rayi tentu saja benci hal itu.
Sore itu, Rayi duduk termenung di bawah halte bus Transjakarta
menunggu kendaraan umum itu menjemputnya. Ia menunduk, menghindari pandangan-pandangan mengincar dari sosok-sosok dengan
kuku panjang dan leher terkoyak yang sedari tadi menatapnya lapar.
Rayi menutup kedua telinganya dengan earphone, berusaha tidak
terpedaya bisikan-bisikan mereka. Namun juga berupaya untuk tetap terlihat
senormal mungkin.
Hingga satu sosok tiba tiba mengelindingkan kepalanya tepat di
bawah wajah Rayi yang menunduk menatap tanah, sedangkan bagian leher hingga
ujung kakinya masih kokoh berdiri di sisi jalan yang bersebrangan .
Rayi tercekat. Kepala itu hanya punya satu mata, satu bola matanya
tak ada di tempatnya –yang Rayi sadari berada di genggaman tangannya yang
berada di seberang jalan- dan satu lagi menggelayut hampir putus di tempatnya,
mengeluarkan darah segar. Dari bagian terputusnya leher, darah mengucur hampir
mengenai sepatu putih milik Rayi.
Kepala itu persis seperti kepala yang tergeletak mati. Namun ketika
Rayi hendak mengambil napas menormalkan kekagetannya, manik mata si kepala yang
menggelayut melirik tajam. Ia menatap Rayi dengan seringaian dari bibirnya yang
sobek, menunjukan gigi runcingnya yang menyeramkan.
Rayi berteriak tanpa harus berpikir dua kali. Menutup wajahnya yang
berbanjir peluh dan berlari pergi sejauh jauhnya. Beberapa kali ia menoleh kebelakang, menatap ke arah orang orang yang tetap beraktifitas tanpa peduli apa yang sedang dilewatinya.
Orang orang itu tidak tau. Batin
Rayi. Mereka bisa mati.
Tapi yang Rayi tidak tau, bahkan orang orang itu tidak akan peduli.
Rayi terus berlari hingga kakinya tak mampu lagi membawanya berlari cukup jauh. Ia merunduk, bertumpu pada kedua lututnya, menarik napas dan mengeluarkannya dengan cepat berusaha menormalkan deru napasnya.
Tapi yang Rayi tidak tau, bahkan orang orang itu tidak akan peduli.
Rayi terus berlari hingga kakinya tak mampu lagi membawanya berlari cukup jauh. Ia merunduk, bertumpu pada kedua lututnya, menarik napas dan mengeluarkannya dengan cepat berusaha menormalkan deru napasnya.
Si kepala buntung, tidak mengikutinya. Ia mendongak, menatap ramainya
orang lalu lalang dan bulan yang sudah seutuhnya terbit. Keramaian, satu-satunya tempat ia bisa menghindar dari “mereka”. Tidak sepenuhnya menghindar,
namun lumayan untuk menyamarkan keberadaannya.
Dua sosok arah jam dua, satu arah jam empat, dan tiga di arah jam
dua belas. Batin Rayi bergumam.
Syukurlah semuanya berada lumayan jauh darinya. Inilah kelebihan
Rayi, ia bisa melihat dan mendeteksi yang seharusnya tak terlihat, dan yang
seharusnya tak tersentuh dunia manusia. Dua dunia yang saling berdampingan namun
tak pernah bersinggungan. Si mati dan si hidup. Rayi berada antar dua dunia
itu.
Daripada kelebihan, Rayi lebih suka menyebutnya dengan kemalangan. Anehnya, kemalangannya ini hanya akan aktif ketika senja mulai naik, jadi mentari pagi adalah satu-satunya yang paling ditunggu oleh Rayi. Dan semenjak kemalangan itu datang pada Rayi, makhluk-makhluk aneh yang tak seharusnya dilihat oleh Rayi ini, seperti tertarik, mereka seperti memangsa Rayi. Memelototinya, mengganggunya, dan bahkan mengejar-ngejarnya.
Daripada kelebihan, Rayi lebih suka menyebutnya dengan kemalangan. Anehnya, kemalangannya ini hanya akan aktif ketika senja mulai naik, jadi mentari pagi adalah satu-satunya yang paling ditunggu oleh Rayi. Dan semenjak kemalangan itu datang pada Rayi, makhluk-makhluk aneh yang tak seharusnya dilihat oleh Rayi ini, seperti tertarik, mereka seperti memangsa Rayi. Memelototinya, mengganggunya, dan bahkan mengejar-ngejarnya.
Rayi menunduk, kembali melanjutkan perjalanannya menuju rumah. Kalau
sudah begini, ia jadi tidak perlu naik kendaraan umum lagi. Rumahnya hanya
tinggal beberapa blok dari sana lalu masuk ke dalam gang. Yang jadi pertanyaan,
bagaimana ia bisa melewati gang yang sepi? Tempat sepi seperti itu sudah pasti
akan dipenuhi “mereka”.
Wajah dan tubuhnya sudah dipenuhi peluh, sisa berlari, meski angin berhembus dengan cukup keras. Ia lelah. Matkul dan dosen
hari ini sudah sangat melelahkan ditambah harus menghindari “mereka”. Energinya
jadi terkuras habis.
Tapi dari kejauhan Rayi dapat melihat sesosok yang ia kenal melambaikan tangan ke arahnya sambil tersenyum riang di depan gerbang rumahnya. Itu Tena, sahabatnya!. Dan dengan begitu, ia mengumpulkan sisa-sisa energi terakhirnya dan berlari secepat kilat. Namun aneh, kali ini “mereka” tidak mengejarnya seperti biasa. Mereka hanya berdiri melihatnya tanpa melakukan apa-apa. Apa kini mereka akhirnya kehilangan minat padanya?.
Memilih tak peduli, Rayi langsung menarik tangan Tena masuk ke dalam rumahnya. Kemudian mengunci pintu depan dengan rapat masih dengan napas yang terengah engah karena lelah berlari.
“Kenapa sih Ray?”
Rayi tak menoleh, sibuk mengintip melalui celah gorden jendela. Memantau
keadaan luar.
“Mereka” ucap Rayi.
Hening sesaat sampai terdengar suara kikikan tertahan yang berasal
dari Tena, barulah Rayi menoleh menatap Tena dengan pandangan bingung.
“Kenapa?”
“Gapapa hehe. Kamu tadi dikejar mereka lagi?” Tena balik bertanya.
Rayi mengangguk, lalu menghempaskan tubuhnya pada sofa ruang tamu. Tena
mengikuti dan duduk di sebelahnya.
“Cerita” Pinta Tena kemudian.
Lalu mengalirlah cerita kesehariannya hari ini.
Tena memang menjadi satu satunya teman yang Rayi percayai tentang
semua ceritanya. Karena hanya Tena yang tidak pernah merespon semua cerita Rayi
tentang “Mereka” dengan tatapan aneh dan Tena selalu ada ketika Rayi
membutuhkannya. Bahkan sudah hampir sebulan ini semenjak "Kemalangannya" muncul, Tena sering datang mampir malam malam hanya untuk sekedar mendengar cerita Rayi atau menemaninya yang ketakutan setelah melihat "Mereka".
Bagi Rayi, Tena adalah sehabat terbaiknya, begitu pula
sebaliknya. Mereka berdua, sudah menjadi teman entah sejak kapan, tapi yang
pasti itu sudah lama sekali. Dan mereka sudah merasa klop satu sama lain.
Selama Rayi bercerita, Tena hanya diam sambil sesekali merespon dengan tawa. Hingga cerita yang Rayi kisahkan habis, Tena masih diam dan hanya merespon dengan senyum.
“Kenapa sih lu dari tadi cuman ketawa tawa terus senyum senyum ga jelas?”
“Gapapa Ray. Lucu soalnya cerita kamu” jawab Tena.
Selama Rayi bercerita, Tena hanya diam sambil sesekali merespon dengan tawa. Hingga cerita yang Rayi kisahkan habis, Tena masih diam dan hanya merespon dengan senyum.
“Kenapa sih lu dari tadi cuman ketawa tawa terus senyum senyum ga jelas?”
“Gapapa Ray. Lucu soalnya cerita kamu” jawab Tena.
Rayi hanya memutar mata malas mendengar alasan tak masuk akal Tena.
Orang lagi cerita horor kok dia bilang lucu. Selera humor anak ini aneh
ternyata.
“Ray, kenapa kamu takut sama mereka?” tanya Tena.
“Ya seremlah Ten, lu ga bisa liat mereka sih”
Tena lagi lagi tertawa mendengar jawaban Rayi. Bahkan lebih geli
dari sebelumnya.
“Kenapa sih???” Tanya Rayi gemas melihat sahabatnya yang terus
tertawa.
Tawa Tena mereda, ia menyeka air matanya yang jatuh akibat tertawa
terlalu geli.
“Tapi Ray... gimana kamu bisa takut kalau kamu aja salah satu dari ‘mereka’.
Ini udah sebulan kamu masih belum sadar??? Jangan bercanda Ray aku tau kamu tidak sebodoh itu”
Rayi
membeku.
Kelompok 1 - Teks Narative
Tidak ada komentar:
Posting Komentar