Senin, 01 Maret 2021

Geliat Museum di Era Globalisasi

 

Museum adalah tempat yang identik sebagai tempat edukasi dan rekreasi. Sebuah lembaga nonprofit yang disediakan pemerintah untuk masyarakat umum agar dapat mempelajari kekayaan dan sejarah Indonesia dengan lebih leluasa. Semua orang tahu, museum konvensional umumnya berisi benda-benda peninggalan bernilai sejarah yang dipamerkan dan biasanya memiliki keterangan yang menjelaskan tentang sejarah tersebut.

Namun masih cocok-kah museum konvensional di zaman serba teknologi seperti sekarang ini?. Di zaman globalisasi ini, manusia sudah sangat dekat dengan teknologi. Dari yang masih kecil hingga yang dewasa. Terutama kaum remaja atau yang kerap disebut-sebut sebagai generasi milenial. Mereka biasanya selalu mengikuti perkembangan dunia luar melalui gadget mereka. Tak ayal kenapa remaja-remaja adalah sasaran paling tepat untuk dijadikan target pasar potensial.

Pengaruh globalisasi ini tentu berpengaruh banyak pada karakteristik para remaja ini yang tumbuh bersama teknologi sejak dini.  Entah itu pengaruh yang baik ataupun pengaruh yang buruk. Salah satu pengaruh buruknya adalah para remaja sekarang yang lebih berketergantungan kepada internet dan smart phone mereka.

Hal tersebut dikarenakan gadget memiliki banyak inovasi yang dapat memudahkan pemakainya, tentu saja hal ini tidak seluruhnya berdampak buruk. Contohnya saja, sekarang buku dapat diterbitkan dalam bentuk digital (E-Book) ini tentu saja memudahkan, pengguna tidak perlu bersusah payah mengelilingi toko buku selama berjam-jam untuk mencari buku yang diinginkan. Hanya perlu mengetikkannya dan Simsalabim! semua ada di genggaman tangan. Pengguna juga jadi tidak perlu membawa-bawa buku yang berat lagi, cukup membeli E-Book dan yang perlu Anda bawa hanyalah gadget yang tipis dan ringan.

Kelihatannya ini memberikan dampak positif bukan? Tapi coba lihat dari sisi lainnya. Hal ini membuat penjualan buku cetak menurun, lalu jika semua sudah memakai E-Book yang praktis lama-lama keberadaan buku cetak akan semakin langka dan mungkin akan terancam punah dikemudian hari. Selain itu jika dilihat dari kacamata kesehatan, menatap gadget terlalu lama juga tidak bagus untuk kesehatan meskipun itu digunakan untuk membaca.

Nah inilah gambaran yang kira-kira sedang di hadapi oleh Museum konvensional di zaman serba teknologi ini. Kebanyakan remaja-remaja jaman sekarang lebih tertarik bermain di tempat-tempat hiburan ketimbang pergi ke Museum dan belajar tentang sejarah, ini adalah salah satu akibat dari pergaulan dunia maya yang seringnya lebih mengutamakan konten menarik. Paling-paling mereka hanya akan pergi ke Museum satu-dua kali setahun jika ada tugas sekolah dan bukan karena tertarik.

Anak-anak seperti itu cenderung berpikir bahwa Museum dan sejarah adalah dua hal yang membosankan. Karena alasan inilah banyak dari kaum milenial yang bahkan tidak tahu sejarah bangsanya sendiri. Hal yang miris mengingat para pejuang terdahulu yang mati-matian memperjuangkan kemerdekaan agar anak-cucu mereka kelak dapat hidup nyaman dan tenang. Hal ini bukan berarti mereka tidak pintar, mereka hanya tidak tertarik dan cepat bosan dengan hal yang monoton. Inilah sebenarnya tugas utama dari sektor pariwisata, yaitu menarik minat pengunjung. 

Meski banyak dampak buruk yang di dapat dari masuknya teknologi, tentunya kita tidak bisa memblokirnya begitu saja. Karena peran teknologi pun lumayan besar dalam memajukan bangsa agar menjadi negara yang maju. Daripada itu lebih baik menggunakannya sebagai senjata bukan?.

Bukan senjata dalam artian yang buruk, melainkan senjata untuk menarik minat kaum milenial agar tertarik mengunjungi museum dan belajar sejarah. Dilansir dalam Merdeka.com, Kepala Unit Pengelola Museum Fatahilah Jakarta, Sri Kusumawati, SS, M. Si, mengadakan survey dan kajian tentang pengunjung atau visitor studies, yang dilakukan dengan sampling gender, usia, dan juga para penyandang disabilitas. Dari survey tersebut ditemukanlah bahwa generasi milenial menginginkan sesuatu yang baru dan berbeda. Dari sinilah kita dapat memanfaatkan teknologi.

Bisa dengan memulai mengganti tulisan keterangan sejarah dengan tablet yang dapat memperlihatkan video atau gambar yang dilengkapi suara. Itu jauh akan lebih menarik ketimbang hanya membaca tulisan yang tertera di setiap koleksi. Pengunjung langsung mendapatkan gambaran yang jelas bagaimana koleksi tersebut digunakan, atau bagaimana sejarahnya di masa lalu, dan lain lain. Lalu teknologi juga dapat digunakan untuk menggantikan koleksi yang sudah rapuh. Koleksi-koleksi yang berada di Museum tentunya merupakan barang peninggalan yang berumur setidaknya puluhan tahun hingga ribuan tahun. Teknologi dapat menggantikanya sehingga tidak perlu khawatir lagi koleksi tersebut suatu saat akan rusak.

Teknologi juga dapat menggantikan sistem loket tiket dengan penjualan online, serta sistem promosi. Generasi Milenial yang dekat dengan teknologi sudah pasti memiliki setidaknya satu media sosial, ini dapat dijadikan sebagai media promosi yang menguntungkan.

Tidak hanya pada teknologi, perombakan operasional Museum dan juga tata hias pun dapat dilakukan agar lebih memberikan kesan eye catching dan 'berkonten'. Misalnya saja penambahan event-event interaktif dengan pengunjung, pengadaan cafe tempat istirahat, dan masih banyak lagi inovasi-inovasi lain yang dapat ditambahkan. Apalagi di era pandemi seperti sekarang ini, Museum harus berpikir keras untuk berinovasi agar tidak kehilangan pengunjung.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mengintip Wayang Tertua di Museum Wayang

  Menurut sejarah wayang diperkirakan sudah ada sejak 1500 tahun yang lalu. Sebuah kebudayaan tua yang terus menerus di wariskan kepada gene...